Selamat Datang di Situs akhmadshoim.blogspot.com Cp. 082323989890 e-mail: soimah49@gmail.com

Selasa, 16 April 2013

Gusmus: Kearifan Lokal Harus Dijaga Bersama


Semarang - Kearifan lokal harus dijaga dan dikembangkan bersama-sama. Pengembangan itu dilakukan dengan menjaga dan melestarikan budaya bangsa termasuk budaya Jawa.
Hal itu disampaikan Mustofa Bisri panggilan akrab Gus Mus, Wakil Rois Aam PBNU dan budayawan nasional saat mengisi acara seminar nasional bersama Gus Mus dengan tema “Memperkokoh Kearifan Lokal Sebagai Pondasi Pembangunan Karakter Bangsa” di aula I kampus 1 IAIN, Minggu, (14/4).
“Upaya memperkokoh kerifan lokal bangsa, diantaranya kita harus bersama-sama nyengkuyung mengembangkan kearifan lokal. Menghidupkan kembali kearifan lokal dengan melestarikan budaya bangsa misalnya wayang kulit, budaya Jawa, dan budaya lain di Indonesia. Bagi masyarakat yang lupa terhadap kearifan lokal, ya perlu kita ingatkan,” paparnya.
Wayang itu merupakan kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam. Kenapa wayang sebagai cagar budaya bangsa bikinan Sunan Kalijaga Raden Said Lokojoyo, salah satu Walisongo kok dijauhi para santri, itu kan harus dirawat dan diuri-uri.
“Wayang itu adaptasi  dari kisah Mahabarata dan Ramayana dari India. yang skenarionya sudah di masuki ajaran-ajaran Islam. Kalo kita mencocokkan wayang Indonesia dengan India tidak sama karena sudah di rubah oleh Sunan Kalijaga. Misalnya, Drupadi dalam versi mahabarata India itu istrinya orang lima, jadi poliandri, istrinya Yudistira, istrinya Bima, Arjuna, Nakulo dan Sadewo. Oleh sunan kalijogo dirubah drupadi hanya istrinya Yudistira,” tegasnya.
Sunan Kalijaga bikin wayangnya juga paham Ushuluddin, dalil man suwaro suurotan, tidak membolehkan membuat patung manusia. Wayang itu bukan manusia, karena matanya cuma satu, makanya dikatakan semata wayang, tangannya beda dengan orang.
“Sunan Giri gak bisa menghukumi secara fikih, karena itu bukan manusia. Tapi ketika dimainkan Sunan Kalijaga, wayang itu seperti manusia nyata,” tandasnya.
Keseimbangan Dunia-Akhirat
Dia menambahkan, kearifan lokal itu juga terkait dengan keseimbangan dunia dan akhirat, merasa cukup dan bersyukur terhadap pemberian Allah. Karena kearifan lokal itu memandang dunia, intinya memandang dunia itu apa?. 
“Jangan menganggap dunia itu segalanya, itu menyalahi kearifan lokal. Kita juga tidak boleh melecehkan dunia bahwa dunia itu gak penting, tapi kita beri nilai berapa dunia itu. Keseimbangan nilai antara dunia dan akhirat itulah yang paling penting,” tambahnya.
Gusmus mencontohkan, kenapa kita harus ngrampok uang rakyat kalo kita sudah punya uang banyak. Kenapa? Karena kita memandang dunia itu segalanya. Ini hal pokok yang perlu diperhatikan. “Kita harus kembali ke kearifan lokal. Kita memandang dunia itu apa adanya, hanya ampiran, mampir ngombe saja, atau kalo agak lama mampir hotel, rodo suwe,” ungkapnya yang disambut tawa para peserta seminar.
Energi anda untuk dunia dan energi anda untuk akhirat itu harus proporsional. Allah berfirman: wabtaghi fiima aatakallah al-daaroh akhirah. Di dunia ini kita bekerja, tapi juga untuk kebahagiaan akhirat, jangan melulu dunia terus.
“Sebagai orang yang berilmu, kita bisa hidup di dunia sekaligus mementingkan akhirat. Kalo kita punya ilmunya, kita bisa tidur sekaligus beribadah, kita makan sekaligus beribadah, kita tidak makan sekaligus beribadah, kita tidur sekaligus beribadah,” papar penagsuh Ponpes Radlautul Thalibin Rembang tersebut. (Akhmad Shoim, IPNU Cabang Semarang)

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites