Selamat Datang di Situs akhmadshoim.blogspot.com Cp. 082323989890 e-mail: soimah49@gmail.com

Selasa, 03 April 2012

Ekstase Citra dalam Busana

Oleh: Musyafa

Orang Jawa memiliki penilaian khusus dan kuat terhadap busana. Pepatah “ajining raga amarga busana”(harga diri tergantung busana) menjadi spirit tersendiri bagi laku orang Jawa.
Pepatah itu mengisbatkan praktik berbusana sebagai pengejaran eksistensial untuk merumuskan identitas, sekaligus pencapaian martabat.Walhasil,pamrih berbusana tidak sekadar membungkus tubuh untuk memenuhi pranata sosial yang ada. Manusia modern telah mengeret makna busana tidak terbatas merujuk pada baju atau pakaian untuk membungkus tubuhnya. Busana juga mencakup bentangan benda-benda yang turut memperindah tampilan fisik seperti perhiasan (kalung,gelang,giwang, cincin,dsb),juga riasan (kosmetik atau perangkat alat kecantikan dan cara berdandan).
Perhiasan pun digeser sejajar dengan aksesori: benda tambahan untuk melengkapi busana lainnya. Kini,aksesori itu tidak hanya berbentuk perhiasan ataupun pernak-pernik benda pelengkap busana.Bendabenda yang sebenarnya memiliki fungsi khusus sebagai penunjang kehidupan praktis sehari-hari pun masuk dalam kategori aksesori.Yakni ketika benda-benda itu dilepaskan dari fungsi awalnya dan digunakan untuk pamrih yang berbeda: fungsi tingkat lanjut.

Misal ponsel atau handphone,ketika dilepaskan dari fungsinya sebagai alat komunikasi, sebaliknya dijadikan sebagai medium untuk mempertontonkan gaya,gaul dan kemewahan, maka ponsel telah ditahbiskan sebagai aksesori.Bahkan rumah dan kendaraan pun niscaya menjadi aksesori yang diimajinasikan manusia untuk melengkapkan kemartabatan sosial-ekonominya di mata khalayak.
Konsumsi 
Berbicara soal pakaian (sandang) maupun bendabenda penunjang kehidupan hingga paling dasar seperti rumah (papan) dan makanan (pangan),tidak bisa dilepaskan dari wacana konsumsi.Konsumsi merupakan sistem atau pola tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Logika konsumsi saat ini telah beralih,tidak sekadar pemenuhan kebutuhan, tetapi juga ikhtiar memanja(ng)kan hasrat.
Hasrat dalam bentuk reproduksi keinginan bukanlah kebutuhan sebenarnya.Keduanya terbentuk atas dorongan dari dalam diri manusia serta realitas material dari luar (pasar,tren,kapitalisme) yang setiap saat mengelabui kesadaran manusia. Dunia semakin digerakkan dengan kecanggihan yang memukau, yang kerap membuat manusia takjub sekaligus ternganga. Inovasi produksi menggoda manusia untuk menciptakan kebutuhan baru dalam hidupnya.
Misal,penciptaan teknologi yang selalu diperbarui dan ditingkatkan fasilitas serta kecanggihannya, menuntut pola konsumsi manusia agar terus bergerak maju untuk senantiasa mengikutinya.Inovasi produksi meminta perhatian dan menjerat manusia agar sukar mengelak.Ditambah lagi propaganda iklan yang menciptakan persuasi konsumsi secara masif. Konsumsi dapat terlaksana karena adanya transaksi: belanja.

Dalam tautannya dengan kemartabatan manusia,belanja menjadi transaksi seseorang untuk membangun harga dirinya, meski secara riil ia sedang menghabiskan modalnya (uang).Di pasar,ratusan manusia dapat diklasifikasikan strata sosial-ekonominya berdasarkan barang belanjaannya.Sederhananya, orang yang membeli tempe bisa dikategorikan sebagai masyarakat kelas bawah, sedangkan yang membeli daging masuk kategori kelas atas.
Mode konsumsi sangat menentukan posisi pengkelasan seseorang di masyarakatnya,serta status sosialnya. Konsumen barang mewah dan berharga mahal lazim dipandang sebagai masyarakat kelas atas, sedangkan konsumen barang berharga murah atau obral dianggap kelas bawah.
Di satu sisi hal ini “menggoyang” pandangan marxisme yang memolakan struktur masyarakat berdasarkan sistem produksi.Bahwasanya, masifitas produksi di zaman kapitalistik ini mendesak pasar lebih berperan: tindak transaksi-konsumsi.
Ageman 
Busana (fashion) seolah menjadi “agama”manusia di zaman mutakhir seperti sekarang ini.Di tengah situasi kehidupan yang mengalami ekstase citra dan memuja tanda,pepatah “ajining raga amarga busana”perlu didekonstruksi. Secara harfiah,orang Jawa memahami kata “agama” sepadan dengan “ageman” (baju atau busana).Dalam artian lebih luas terkait pandangan hidup,“ageman” berarti pegangan.
Sebagaimana ajaran KPPA Mangkunegara IV,dalam salah satu syair di Serat Wedhatama,menyebut bahwa agama ageming aji(agama adalah pegangan pemimpin). “Agama”dalam konteks tersebut tidak secara spesifik mengacu pada ajaran-ajaran nabi atau kitab suci.Tetapi, lebih menekankan laku-budi luhur manusia di dalam hubungannya dengan orang lain mampu menciptakan “baju”atau “identitas”yang beradab.
Laku lebih menjamin keadaban seseorang ketimbang tampilan-tampilan fisik yang ditampakkan di hadapan orang lain.Demikian, kemartabatan manusia lebih terjamin oleh laku mulia ketimbang busana atau aksesori penyangga ketubuhan yang bersifat artifisial dan terus berganti sesuai diktum ekonomi yang kapitalistik.
Juga lebih berharga ketimbang perilaku yang penuh “riasan”atau “aksesori”untuk sebuah pencitraan.● MUSYAFAK Pengkaji budaya dan sastra di Open Mind Community Semarang 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites