Muhammad Abu Nadlir *
JEAN
Peaget, psikolog Swiss, mengatakan, tujuan paling prinsip dari pendidikan
adalah menciptakan manusia yang mampu melakukan hal-hal baru, bukan hanya
mengulang apa yang dilakukan generasi sebelumnya. Inti dari tujuan pendidikan adalah
menciptakan manusia kreatif, memiliki daya cipta, dan penemu (Jean Peaget, The
Psychology of Intelligence, 2001, h. 131).
Namun,
bila melihat keadaan di Indonesia, tujuan pendidikan sebagaimana yang
dikehendaki Jean Peaget sama sekali belum terjadi. Banyak lembaga pendidikan di
negeri ini hanya mengajarkan segala hal yang tidak sesuai dengan kemampuan
peserta didik. Akibatnya, banyak peserta didik stres gara-gara yang mereka
pelajari di sekolah tidak sesuai dengan kemampuan mereka.
Kurikulum
Berbasis Kecerdasan
Salah
satu masalah besar dalam dunia pendidikan adalah ketidaktepatan dalam memahami
kecerdasan murid-murinya. Peserta didik sering dianggap tidak cerdas karena
tidak memahami dengan baik mata pelajaran tertentu, terutama matematika.
Howard
Gardner, psikolog dari Universitas Harvard mendekonstruksi pandangan ini dengan
menyuguhkan sembilan jenis kecerdasan (Howard Gardner, The Development And
Education Of The Mind: The Selected Works Of Howard Gardner, h. 47-54).
Macam-macam kecerdasan ini memungkinkan seseorang memiliki kemampuan tertentu
yang menonjol, bahkan mungkin tidak disadari oleh yang bersangkutan.
Sembilan
kecerdasan tersebut adalah: Pertama, kecerdasan linguistic-verbal,
yang memungkinkan seseorang sangat terampil berolah kata, sehingga apa
yang dipikirkan dapat dituangkan dalam kata atau kalimat, lisan maupun tulisan.
Kecerdasan jenis ini sangat mendukung untuk bercerita, berdebat, berdiskusi,
menyampaikan laporan, dan sebagainya yang sejenis yang sangat mendukung
berbagai profesi, antara lain: guru, pengacara, orator, penyiar/presenter,
penyair, dan editor. Kecerdasan inilah yang menonjol dalam diri orang-orang
seperti Shakespeare dan Homeros.
Kedua,
kecerdasan logico-mathematic, yang membuat seseorang sangat mudah
berinteraksi dengan angka-angka dan mampu memahami hubungan kausal, sehingga
memiliki cara berpikir yang logis dan dengan cepat mampu memahami fenomena yang
bersifat ilmiah. Kecerdasan jenis ini akan memudahkan untuk menentukan mana
yang benar dan mana yang tidak benar dalam kriteria logika. Newton dan Einstein
adalah dua dari sekian banyak ilmuan yang menonjol karena kecerdasan jenis ini.
Ketiga,
kecerdasan visual-spasial, yang membuat seseorang memiliki kemampuan untuk
secara detail menggambarkan apa yang dicerapnya. Kecerdasan ini dimiliki oleh
navigator, arsitek, dan para seniman lukis (juga yang berkaitan dengan
gambar-gambar, seperti lukisan/foto). Lukisan yang berkualitas dihasilkan oleh
pelukis yang memiliki kecerdasan tinggi dalam melihat goresan-goresan yang
diciptakannya lewat sapuan kuas.
Demikian
juga seorang fotografer yang mumpuni, mampu membuat analisis yang tepat tentang
pengaruh cahaya, latar belakang, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi
kualitas hasil foto. Thomas Alva Edison, Pablo Picasso, dan Ansel Adams, adalah
orang-orang dengan kecerdasan visual-spasial yang baik.
Keempat,
kecerdasan ritmik-musikal, yang membuat seseorang piawai memainkan alat musik
karena ia pandai menyimpan nada dalam pikirannya. Ia mampu dengan baik
mengingat irama dan kemudian secara mudah terpengaruh oleh musik. Menurut
Plato, musik memiliki pengaruh yang sangat besar ke dalam jiwa, bahkan yang
terdalam.
Musik
juga dapat membantu memberikan stimulus kepada tubuh untuk melakukan
gerakan-gerakan yang lebih mudah seperti dilakukan oleh para pesenam. Banyak
pakar mengatakan, musik juga berpengaruh pada kecerdasan lainnya, karena irama
musik dalam menggeser pikiran, mengungkapkan kasih sayang dan memberikan ilham,
serta meningkatkan ketakwaan. Karena itu, oleh para sufi Mesir, musik dijadikan
sebagai sarana untuk berekstasi kepada Tuhan.
Kelima,
kecerdasan kinestetik, yang memungkinkan seseorang dengan mudah melakukan
gerakan yang bagi kebanyakan orang sangat sulit, bahkan tidak bisa dilakukan.
Kecerdasan ini dimiliki terutama oleh para atlit, pengrajin, montir, dan ahli
bedah.
Keenam,
kecerdasan interpersonal, yang membuat seseorang mampu berinteraksi secara baik
dengan orang lain. Kecerdasan ini pada dasarnya sangat diperlukan untuk
menciptakan harmoni dalam masyarakat. Sesuai dengan fitrahnya, sebagaimana
dijelaskan Aristoteles dalam bukunya Republica bahwa manusia
adalah zoon politicon (makhluk sosial). Tidak ada manusia yang bisa
hidup sendiri di pulau-pulau di dunia ini.
Dengan
kecerdasan ini, seseorang mampu menjalin relasi dengan orang lain secara lebih
empatik, sehingga disenangi banyak orang. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh
pemimpin-pemimpin sosial dan politik, seorang yang pandai membuat jaringan (networker),
juru runding, dan guru yang baik. Mahatma Gandhi adalah salah seorang yang
menonjol dalam kecerdasan interpersonal ini.
Ketujuh,
kecerdasan intrapersonal, yang memungkinkan seseorang mengakses perasaannya
sendiri yang terdalam, membedakan berbagai keadaan emosi, mampu memahami
nilai-nilai hidup untuk membimbing hidupnya. Kecerdasan ini lebih optimal jika
distimulasi dengan kegiatan meditasi, kontemplasi, dan berbagai aktivitas
penelusuran jiwa secara lebih mendalam. Kecerdasan jenis ini membuat pemiliknya
sangat mandiri, fokus pada tujuan, dan sangat disiplin, sehingga kurang suka
bekerjasama dengan orang lain. Ini kecerdasan para konselor dan ahli teologi.
Kedelapan,
kecerdasan naturalis, yang memungkinkan sesesorang memiliki kemampuan yang
lebih dalam mengenali, membedakan, mengungkapkan, dan membuat kategori terhadap
apa yang dijumpai di alam alam semesta ini. Kesembilan, kecerdasan
eksistensial yang lebih berupa kemampuan untuk berpikir filosofis, selalu
bertanya mengapa yang ada ada, atau asal mula dari yang ada, dan ke mana yang
ada jika “tiada‘.
Melihat
sembilan jenis kecerdasan di atas, maka segenap lembaga pendidikan kiranya
perlu mendesain kurikulum yang bisa membuat kecerdasan-kecerdasan dalam diri
murid berkembang optimal dengan cara memberikan penghargaan yang sama kepada
setiap kecerdasan yang dimiliki para peserta didik. Sebab, dunia masa depan
memerlukan individu-individu yang ahli dalam bidangnya, apa pun bidang itu.
*Mahasiswa
Magister Ilmu Administrasi Publik Kebijakan Pendidikan Universitas Diponegoro,
Semarang
0 komentar:
Posting Komentar