oleh Alfa Wanasabani pada Selasa, September 21st, 2010 dilihat 2.092 kali
Berbicara tentang pesantren selalu saja begitu menarik. Bukan
saja karena eratnya kaitan unik antara pesantren dan masyarakat, bermacam
tradisi khasnya, liku sejarah berdirinya, namun juga karena ‘keluarbiasaan’
pesantren dalam mengawal pendidikan bangsa selama lebih dari 300 tahun.
Ya, selama kurun waktu itu pesantren telah ikut mencerdaskan
putra-putri bangsa, terus berperan aktif membangun bangsa, menjadi ladang subur
persemaian kader bangsa. Hingga dikemudian hari, tak mengherankan jika
Pesantren berhasil membidani lahirnya tokoh-tokoh besar seperti KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Sahal Mahfudz, Gus Mus
(KH. Ahmad Mustofa Bisri), Emha Ainun Najib (Cak Nun) hingga Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) yang pernah menjabat sebagai presiden ke-4 Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Tak berhenti sampai disitu, Bumi santri ini pun sukses
menggawangi berdirinya Organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yakni
Nahdlotul Ulama (NU). NU yang lahir atas prakarsa Hadrotussyaikh KH. M. Hasyim
Asy’ari ini adalah bukti nyata kepedulian ulama pesantren terhadap perkembangan
masyarakat Islam dunia. Perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang
menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar
umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat islam
melepaskan diri dari sistem brmadzhab.
Bagi para kiai pesantren, pembaruan
pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap
tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih
relevan. Untuk itu, Jam’iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera
didirikan. Dari sinilah akhirnya Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para
ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.
Pun tak hanya ‘berkarya’, Sejarah panjang nan menarik meliputi
awal pendirian lembaga pendidikan yang diasuh oleh Kyai ini, sebuah proses
‘luar biasa’ hingga pesantren tetap eksis hingga hari ini, eksistensi pesantren
dalam uniknya tradisi yang dimilikinya, kemudian bagaimana jawaban pesantren
terhadap tantangan zaman yang semakin berkelok ? Lembaga pendidikan Islam yang
kerap dicap ‘tradisional’ ini pun tidak tinggal diam. Berlandaskan prinsip
utama ‘almukhafadhotu ‘ala qadiimis shalih wal akhdu bijadidil aslah’ (menjaga
kebaikan tradisi lama, dan mengambil tradisi baru yang baik) pesantren maju merespon
berbagai tantangan zaman, tak hanya di bidang pendidikan, dibidang lain seperti
teknologi, ekonomi, dan sosial budaya pun lembaga ini mulai menampakkan peran
yang signifikan. Tulisan sederhana ini berupaya mengulas kembali, sejarah
menarik berdirinya Pesantren di tanah air, keunikan dan kekayaan tradisi khas
kepesantrenan hingga respon dan peran pesantren di tengah gemerlap globalisasi.
Sejarah Berdiri
Zamkhsyari Dhofier, seorang pakar yang konsen terhadap kajian
pesantren, dalam makalah ‘pesantren, alternatifkah ?’ dan “Transformasi
Pendidikan Islam di Indonesia’ mengungkapkan bahwa pesantren telah ada sejak
1630 M. Jika dihitung lebih rinci, berarti umur pesantren hingga hari ini,
telah mencapai angka 370 tahun. Bukan waktu yang sebentar tentunya.
Pada awal berdirnya, bentuk pesantren sangatlah sederhana.
Kegiatan pengajian dilaksanakan didalam masjid, dengan seorang kyai menjadi
guru dan beberapa orang santri sebagai muridnya. Hampir diseluruh penjuru
nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam, terdapat lembaga pendidikan
yang kurang lebih serupa dengan pesantren, meski dengan nama yang berbeda.
Seperti Meunasah di Aceh, dan Surau di Minangkabau.
Mulanya, jamaah sang kyai hanya terdiri dari beberapa orang
saja. Setiap menjelang atau selesai shalat berjama’ah, Kyai biasanya memberikan
ceramah pangajian sekedarnya. Isi Pengajian berkisar terkait rukun Iman, rukun
Islam, serta masalah-masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Lama
kelamaan, berkat keikhlasan Kyai dalam mengajar serta keteladanan langsung yang
dilakukan Kyai, jamaah yang sedikit ini pun bertambah banyak.
Di kemudian hari, tak hanya masyarakat setempat yang datang
untuk mengaji. Tidak sedikit para santri yang berasal dari luar daerah sengaja
datang untuk ngaji pada sang Kyai. Dari sini kemudian dibangunlah secamam gubuk
untuk tempat tinggal santri terutama yang berasal dari luar daerah. Dalam
perkembangannya, dari gubuk sederhana ini selanjutnya berdiri bangunan-bangunan
pesantren seperti sekarang.
Dari keterangan sejarah yang berkembang di masyarakat, dapat
disimpulkan bahwa berdirinya pondok pesantren tertua, baik di Jawa maupun luar
Jawa, tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang
dibawa Walisongo. Utamanya di tanah Jawa, berdirnya pesantren tererat kait
dengan keberadaan Maulana Malik Ibrahim (w. 1419) yang dikenal sebagai
spiritual father Walisongo (Abdurrahman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan
Madrasah, 2002).
Keunikan dan Ragam tradisi khas pesantren
Tak dapat disangkal, Pesantren sebagai satu diantara lembaga
pendidikan Islam berdiri diatas keunikan tradisi dan kekhasannya. Disebut khas,
karena bentuk tradisi dan budaya ini tidak dapat dijumpai pada bermacam lembaga
pendidikan lain yang ada. Beberapa tradisi khas pesantren itu, diantaranya
1 . Kain Sarung
Kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya hingga berbentuk
seperti tabung, itulah sarung. Bagi kita santri, sarung tentu bukan barang
baru. Karena diluar kegiatan sekolah, sarung menjadi ‘menu wajib’ yang mesti
dikenakan oleh seorang santri. Tapi Tahukah kita, bahwa ternyata kain lebar ini
tak hanya dikenal di Indonesia. Sarung juga dikenal dengan nama izaar,
wazaar atau ma’awis. Masyarakat di negara Oman menyebut sarung dengan
nama wizaar. Orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar.
Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga
mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.
Dalam Ensiklopedia Britanica, disebutkan, sarung telah
menjadi pakaian tradisomal masyarakat Yaman. Sarung diyakini telah diproduksi
dan digunakan masyarakat tradisional Yaman sejak zaman dulu. Hingga kini,
tradisi itu masih tetap melekat kuat. Bahkan, hingga saat ini,
futah atau sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional dari
Yaman.
Bagi kalangan Pesantren, keberadaan sarung telah melegenda. Pada
zaman kolonial Belanda, sarung dijadikan simbol perlawanan. Sarung telah
menjadi simbol perlawanan terhadap para penjajah yang terbiasa mengenakan baju
modern seperti jas.
2. Kitab Kuning
Dalam pengertian sederhana, kitab kuning atau yang sering juga
disebut kitab turats adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab atau berhuruf
Arab karya para ulama masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas
pra modern, abad ke 17-an M. Dalam perkembangannya, kitab (karya ilmiah) para
ulama ini kemudia dibagi dalam dua kategori berdasarkan kurun waktu
penulisannya. Kategori pertama disebut al-kutub al-qadimah (kitab-kitab
klasik). Sedangkan kategori kedua sering disebut al-kutub al-‘ashriyyah
(kitab-kitab modern).Masuk dalam kategori pertama, seperti kitab Alfiyyah Ibnu
Malik, Tafsir Jalalain, dan lain sebagainya sedangkan pada kategori kedua
seperti kitab At-Tazhib, Fiqhul Islam Waadillatuhu dan lain sebagainya.
Lalu sejak kapan sebernarnya kitab kuning mulai digunakan
menjadi sumber kajian di Nusantara (baca : pesantren) ? Sangatlah mungkin,
sejauh bukti-bukti sejarah yang ada, bahwa kitab kuning mulai digunakan di
pesantren semenjak abad ke-18 M, dan sangat dimungkinkan pengajaran kitab
kuning secara massal dan permanen, baru dilaksanakan pada pertengahan abad 19
M. yakni ketika ulama nusantara, khususnya dari tanah jawa, kembali dari
program belajarnya di Mekkah. (Abdurrahman Wahid, Asal Usul Tradisi Keilmuan
Pesantren: 1984).
Terkait dengan metode pembelajran kitab kuning, paling tidak
dapat kita temukan dua buah metode terkenal yang sering digunakan yakni
Bandongan dan sorogan. Bandongan adalah metode pembelajaran dimana setiap
santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai, sementara kyai
menerangkan, para santri menyimak kitab masing-masing sembari membuat catatan
penting yang diperlukan. Sedangkan Sorogan (menyodorkan) yakni sebuah metode
pembelajaran dimana setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai atau
ustadz , Metode ini menggunakan pendekatan belajar individual. Khusus di
Pesantren Jawa, setiap santri diperkenalkan pada huruf pegon dan afsahan
ika-iku. Huruf pegon yang dipakai disesuaikan dengan bahasa daerah yang
digunakan seperti, jawa ataupun sunda.
Pesantren di Tengah Gemerlap Globalisasi
Globalisasi membuat dunia semakin pendek. Indikasi pertama dari
kejadian ini adalah semakin Mudahnya akses informasi, kemudahan yang
memungkinkan setiap orang di berbagai belahan dunia, mengakses bermacam
informasi yang diperlukannya. Bertukar pikiran dengan siapa pun yang
dikehendakinya. Dan seperti yang disebutkan oleh banyak orang, selalu saja ada
dua mata pisau untuk efek globalisasi. Baik dan buruk. Positif dan negatif.
Tergantung bagaimana pengelolaan dan penyikapan terhadap globalisasi ini.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam pun begerak cepat
mengambil sikap terhadap efek globalisasi (baca : kemajuan zaman). Mengambil
jalan untuk menetralisir dampak negatif yang dimungkinkan terjadi. Dengan tetap
berpegang teguh keempat sumber hukum Islam, yakni Al Qur’an, hadist, Ijma’ dan
Qiyas.
Tak hanya berkonsentrasi melaksanakan fungsi tarbiyyahnya,
pesantren secara istiqomah berusaha menggarap bidang-bidang lainnya, seperti
teknologi, ekonomi hingga sosial kebudayaan. Pesantren mengambil jalan
keterbukaan terhadap pesatnya kemajuan zaman. Dengan tetap mempertahankan
kebaikan tradisi lamanya dan selalu menjadi kewajiban syar’i sebagai
pertimbangan utamanya.
Menyikapi kebutuhan masyarakat akan informasi, Pesantren pun
segera bereaksi. Tak hanya pada media cetak seperti majalah, buletin maupun
tabloid, beberapa pesantren pun kini mulai melebarkan sayap dakwahnya melalui
media informasi elektronik seperti mendirikan statisun televisi (contoh : MQ Tv
Ponpes Darutt Tauhid Bandung) ataupun mendirikan stasiun radio seperti yang
dijalankan Pondok Peseantren API Tegalrejo Magelang (Fast FM), Pondok Pesantren
Al Hikmah 1 (SAS FM) dan yang sedang diupayakan oleh Pondok Pesantren Al Hikmah
2.
Pesantren terus berusaha membekali setiap santrinya dengan
berbagai cabang keilmuan. Disamping tetap mengedepankan pendidikan
keagamaannya, pesantren pun berupaya meningkatkan life skiil setiap santrinya
dengan mengadakan berbagai program spesifikasi seperti Komputer, pengelasan,
tata busana, perikanan, perikanan dan lain sebagainya.
(Dari berbagai Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar