PARODI Prie GS
Ini negeri yang selalu
terlibat. Negeri lain yang krisis, kita yang terkena imbasnya. Orang lain yang
berprestasi, kita cukup yang mengagumi. Pihak lain punya tradisi menjadi pihak
yang bermain, kita membangun tradisi menggelar nonton bareng. Kita boleh tidak
terlibat di Piala Eropa, tetapi jangan kurang akal, undang saja bintangnya
datang ke Jakarta. Kita tak perlu lolos di Piala Dunia, tetapi undang saja
bintangnya ke sini, untuk main iklan produk minuman berenergi.
Di Jakarta, para bintang
itu diadu dengan para bintang kita. Seluruh bintang kita berkumpul menjadi satu
dan menahan imbang mereka 1-1. Skor yang tidak buruk. Tetapi siapa peduli
tentang skor? Karena jauh melesak di alam bawah sadar sana, telah berkembang
bermacam-macam imajinasi atas skor ini.
Bisa saja kualitas pemain
kita memang benar-benar bintang sehingga sanggup menahan bintang. Itu skenario
pertama. Bisa juga karena pihak lawan tak enak hati. Itu skenario kedua. Maka
skor 1-1 adalah skor tersopan dari sebuah pertandingan senang-senang.
Karena itulah memang
tujuannya: bersenang-senang. Maka, semuanya harus senang. Jadi skor itu sama
sekali bukan isu terpenting. Terpenting dari semua itu adalah kehadiran
primadona Piala Eropa, Cesc Fabregas. Seluruh kebintangan kita hanyalah anak
tangga bagi kebintangan pihak lain yang sedang ditunggu-tunggu. Maka
mengelu-elukan sang bintang jauh lebih penting ketimbang mengevaluasi
pertandingan.
Maka skor satu-satu itu,
walau bukan skor yang buruk, tetapi bukan skor yang menggembirakan. Bukan tak
gembira karena kita tidak bisa membuat gol lebih banyak, melainkan karena
kita tak membutuhkan kemenangan itu. Bisa karena hal itu nyaris tidak mungkin,
bisa juga karena bukan soal itu yang ditargetkan. Target kita saat ini adalah
sedang ingin menjadi pengagum pihak-pihak yang mengagumkan. Kita adalah
masyarakat yang sedang kehilangan kekaguman di dalam kehidupannya sendiri.
Setiap membuka lembaran koran, rasanya kita hanya bertemu kasus korupsi.
Korupsi itu malah merajalela
sedemikian rupa sampai sulit lagi mencari padanan kata untuk menyebutnya.
Ketika beras miskin saja dikorup, kita pernah menyebutnya sebagai luar biasa.
Tapi rekor ini gugur dengan cepat karena pengadaan kain kafan juga dikorupsi.
Kini kain kafan saja tak cukup, tetapi sudah merambah ke pengadaan Kitab Suci.
Kalau tuduhan ini benar, rasanya kehadiran KPK saja tak cukup. Rasanya Tuhan
sendiri yang harus turun tangan untuk menghentikan pihak yang telah mustahil
dinasihati.
Di tengah iklim semacam
itulah krisis makna akan bergerak menjadi wabah. Hidup tanpa makna adalah
kegalauan besar sebuah bangsa.
Akhirnya, naluri mencari makna itu akan menerobos kalau perlu
melewati batas-batas negara. Adalah aneh, negeri yang ramai mengampanyekan
makna di berbagai mimbar khotbah ini, adalah negeri yang diam-diam mengalami
krisis makna. Karenanya, ketika korupsi makin bereskalasi dari kain kafan ke
Kitab Suci, tradisi impor juga bergerak serupa, kita tak cuma cukup impor
garam, gula dan beras, tetapi juga harus impor nilai dan makna. (62) Suara Merdeka,
08 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar