oleh Maulinni'am MA pada
10 Mei 2012 pukul 4:40 ·
“...Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat (ambigu)
daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya...” (Q.
Surat Ali Imron: 7)
Selepas maghrib, langit
Jogja tampak bersih. Bintang-bintang terlihat terang. Aku bergegas mengayuh
sepeda menuju jalan Solo. Jam 7 malam ini akan ada diskusi dengan pembicara
Irshad Manji di pendopo yayasan LKiS, di dekat pura Sorowajan. Diskusi ini
merupakan ‘pengalihan’ setelah pagi sebelumnya batal dilaksanakan di kampus UGM
karena ada sekelompok mahasiswa dari lembaga dakwah kampus dkk yang menolak
diskusi tersebut digelar. Pada hari sebelumnya kegiatan yang sama juga batal
diselenggarakan di Solo karena adanya tekanan dan (mungkin juga) ancaman dari
kelompok Islam garis keras.
Aku sampai di LKiS sekitar
pukul 19.10 menit. Di halaman depan, sepi kendaraan yang parkir. Pintu gerbang
dari besi di samping tampak tertutup. Mungkin sebagai antisipasi. Segera
kuparkirkan sepedaku dan kulihat ada seorang laki-laki membuka pintu kantor dan
melongok ke luar. Seolah mengamati situasi di luar. Aku mendekat dan bertanya,
“Diskusi Irshad Manji ya?”
“Ya” jawabnya singkat
sambil mempersilakan aku masuk kantor lalu keluar lagi lewat pintu samping
menuju pendopo.
Kantor LKiS sendiri bagiku
bukan tempat yang asing. Kurang lebih 6-7 tahun yang lalu aku sering sekali
main ke sana. Nonton TV, baca koran, nguping diskusi, atau sekedar numpang
makan siang. Tempat yang terbuka, nyaman, dan mencerdaskan. Sejak dulu, aku
mengenal LKiS sebagai sekumpulan orang cerdas dengan pemikiran yang berani
tentang Islam maupun sosial. Istilah ‘Kiri Islam’ pertama kali saya kenal dari
buku terbitan LKiS. Pemahaman keberagamaan atau keislaman saya paska SMA
sedikit banyak saya peroleh dari membaca buku-buku LKiS milik kakak ipar yang
kerja di sana.
Kembali pada cerita tentang
diskusi Irshad Manji. Saya bergabung dengan peserta diskusi yang telah lebih
dulu datang. Ku lihat ada beberapa bule laki perempuan. Ada waria berjilbab.
Ada juga perempuan bertatto. Tapi ada juga pria sederhana nan bijaksana seperti
saya ini (hehe #apasih #gapenting). Meskipun datang telat, saya merangsek terus
hingga berada di baris kedua di depan Manji. Dari tempatku duduk dapat kulihat
jelas sosok Irshad Manji. Wajahnya tirus khas keturunan india-pakistan dengan
hidung mancung. Mengenakan kaos pink dengan celana warna kuning menyala.
Potongan rambutnya pendek, tapi sudah bukan gaya acak seperti beberapa tahun
yang lalu. Ia duduk dengan menyilangkan kakinya. Terlihat kuku-kuku kakinya
bercat merah. Sebagaimana gaya orang bule berbicara, Manji lumayan ekspresif
dalam berbicara. Tiap pernyataan didukung dengan ekspresi wajah maupun bahasa
tubuh yang meyakinkan.
Manji baru saja memulai
kata pengantar diskusinya tentang keberanian dan kebebasan untuk menyampaikan
pikiran. Ia membagikan kisah-kisah yang ia dapatkan ketika melakukan perjalanan
dari satu negara ke negara lain. Menurutnya, salah satu hambatan terbesar
untuk menyampaikan pendapat justru berasal dari keluarga sendiri. Ia
mengisahkan ketika pertemuannya dengan seorang aktivis wanita di Mesir beberapa
waktu lalu ketika negeri mumi tersebut sedang bergejolak. Dalam sebuah kedai
minum, perempuan mesir itu mengatakan, “Inilah saya, seorang perempuan terlibat
dalam upaya menyuarakan perubahan di negeri ini, tetapi saya sendiri tidak tahu
bagaimana mengatakan pada keluargaku tentang cinta.” Rupanya perempuan tersebut
sedang jatuh cinta pada lelaki Yahudi.
Irshad Manji bukan tidak tahu
kedatangannya ke Indonesia mendapat tentangan keras dari sebagian kelompok. Ia
sadar bahwa pemikirannya tentang cinta, tentang kebebasan, tentang Islam tidak
mudah diterima oleh orang kebanyakan, apalagi oleh orang yang tidak mau baca.
Hari-hari pertama ia datang di Indonesia pekan lalu, ada seorang wartawan
mewawancarainya. Pada saat itu Manji sudah tahu bahwa acara bedah bukunya di
Surakarta akan batal karena ada tekanan dari organisasi Islam dan ia sudah tahu
nama ormas tersebut. Ketika Manji hendak menyebut nama ormas tersebut, wartawan
yang mewawancarainya menyarankan untuk tidak usah saja. Alasannya penyebutan
nama ormas tersebut hanya akan memicu ketegangan sosial dan bisa berujung
konflik. Manji tidak habis pikir mendengar jawaban itu. “You
won’t start a conflict, but the conflict is already there. The tension is
already there.”
Saat itu Manji baru sadar
satu hal tentang ancaman terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.Selain
ancaman yang berasal dari negara (dan ini sudah pasti ada) dan kelompok lain,
ancaman yang terbesar terhadap kebebasan adalah self-cencorship yang
berlebihan di dalam diri wartawan sendiri (dan kita pada umumnya). Padahal
seharusnya ketakutan yang berlebihan itu tidak perlu. Seharusnya wartawan sebut
saja nama ormas yang sudah menekan dan mengancam penyelenggara bedah buku
tersebut agar masyarakat tahu yang sebenarnya. Bagaimana pun tugas wartawan
adalah menyampaikan fakta.
Selanjutnya dibuka sesi
tanya jawab. Penanya pertama adalah seorang wanita dari baris belakang. Memakai
kaos putih kerah lebar. Terlihat tato mengintip dari bawah pundak sebelah kiri.
Perempuan ini mengaku berasal dari keluarga muslim yang taat dan ketat dalam
beragama. Di sisi yang lain, ia adalah aktivis pro aborsi sehat. Ia merasakan
dilema yang sangat besar tentang aktivitasnya terutama dari pihak keluarga.
sempat terbersit keinginan untuk melepas identitas muslimnya demi
memperjuangkan apa yang diyakininya, tapi itu tak mungkin karena seolah sudah
mendarah daging. Sementara kalau ia menjadi aktivis pro aborsi sehat, tentangan
dari keluarga pasti tak bisa dihindarkan.
Menanggapi pertanyaan
tersebut, Manji mengulangi lagi poin pesannya di awal bahwa betapa keluarga,
terkadang justru menjadi penghambat utama bagi individu untuk menyuarakan
kebenarannya. Setiap orang itu unik. Setiap orang memiliki kebenarannya, suara
atau pendapatnya pribadi mengenai segala sesuatu. Menyuarakan kebenaran/pendapat
bukan berarti kita yang paling benar dan tak seorang pun berhak menghakimi
kebenaran kita. karena di dalam al-quran sendiri ada ayat yang secara jelas
menggambarkan ini.
Irshad Manji kemudian
meminta hadirin untuk mengeluarkan notes dan pulpen untuk mencatat apa yang
akan dia sampaikan berikutnya. Manji menyebutkan dalam surat ke tiga
(Ali-Imron) ayat 7 yang terjemahannya kira-kira berbunyi begini,
Dia-lah yang menurunkan Al
Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[1],
itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat)mutasyaabihaat[2].
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.
Ayat di atas mengajarkan
kita untuk rendah hati. Yaitu dengan cara bersikap terbuka pada kemungkinan
salah. Orang-orang yang dalam ilmunya cenderung menjawab, “pendapat saya
mungkin salah, begitu pun pendapat anda bisa saja salah. Karena hanya Allah
yang tahu makna yang sebenarnya, the final and the finest meaning.”
Jadi jika suatu saat anda
didebat oleh orang yang mengaku paling benar, kalau dia islam, keluarkan
catatan itu dan tunjukkan padanya. Semoga dengan cara demikian, suatu saat
orang tersebut akan bisa memahami dan diberi oleh Allah kerendahhatian dan
akhirnya menerima adanya perbedaan.
Sesi diskusi kemudian
dilanjut dengan penanya kedua dan ketiga. Penanya kedua, seorang lelaki paruh
baya, berkacamata. Dia mengaku senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan
Irshad Manji. Dia sudah membaca buka Manji yang pertama, tetapi buku yang kedua
belum. Ia menyampaikan kritik atas buku pertama Manji bahwa buku tersebut bukan
buku tentang Islam melainkan pengalaman penulis tentang Islam. itu 2 hal yang
berbeda. Kemudian pertanyaannya adalah mengapa Anda (Irshad Manji) yang bahkan
tidak bisa berbahasa arab menulis tentang Islam yang notabene berasal dari Arab
dan menggunakan bahasa Arab. Pertanyaan ketiga, dari mahasiswa asing di
CRCS. Penanya ketiga dengan lugu mengatakan bahwa dia tidak kenal Irshad Manji
sebelumnya. Baru kemarin dia dengar berita yang heboh tentang Irshad
Manji. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang Manji tulis sehingga orang bereaksi seheboh
ini.
Secara singkat Manji
menjawab pertanyaan kedua, sekaligus menjawab pertanyaan ketiga, bahwa apa yang
ia tulis secara sederhana adalah cerita pengalaman dia dalam memahami Cinta
Allah. Ia menulis buku yang pertama itu setelah mempelajari Islam selama 20
tahun dengan caranya sendiri. Mengapa ia ‘mencari tahu’ tentang Islam dengan
caranya sendiri tak lepas dari pengalaman masa kecil. Semasa kecil (atau
remaja) Irshad Manji pernah dikeluarkan dari Madrasah, tempat
dia belajar Islam, di Uganda karena dianggap terlalu banyak tanya. Bisa saja
pada waktu itu ia memutuskan untuk berkata “what the hell” pada Islam
lalu meninggalkannya. Tetapi nyatanya ia tidak melakukannya. Ia memilih untuk
tetap menganut Islam hingga sekarang.
Diskusi baru berjalan kurang
lebih 30 menit. Tiba-tiba ada suara keributan dari arah depan LKiS. Beberapa
pengunjung yang berada di luar pendopo kasak-kusuk. Lalu ada seorang pria
berkaos merah, berperawakan kurus dengan rambut gondrong, tiba-tiba berdiri
dari barisan belakang sambil berkata, “Ayo bubar, ada FPI”. Menurutku itu
adalah tindakan bodoh dan penakut. Ga sumbutdengan rambut
gondrongnya. Dia bukan bagian dari pengacau. Tapi sikapnya yang panik malah
jadi membuat peserta yang lain juga mulai panik.
Aku masih belum beranjak
dari tempat duduk. Ku lihat ke arah gerbang, mulai berdatangan para preman.
Hampir semuanya tetap memakai helm dan slayer penutup wajah. Mereka mulai masuk
ke pendopo dan berteriak,
“Kafir!”
“Musyrik!”
“Bubar! Bubar!”
Sebagian berteriak “Allahu
akbar!” sambil membanting pot, menendang piring-piring yang masih penuh cemilan
diskusi. Giliran suara piring beradu dengan lantai dan tembok. Mic wireless
mereka banting ke lantai. Para peserta yang mulai berdiri di-senthang-i
(disenggol hingga terpental), ada beberapa perempuan yang ditampar. Seorang
wanita bule, usia sekitar 45 lebih dipukul lengan kanannya, direbut handycam
hingga ada komponen yang patah. Mungkin patah juga tulang lengannya, tapi
yang jelas ketika dia pergi dari lokasi, tangannya pakai penyangga. Setelah
kejadian baru saya tahu bahwa wanita tersebut bernama Emily, asisten Manji.
Emily dipukul berkali-kali dengan besi panjang di bagian lengan.
Aku masih di tengah
pendapa. Sekarang dalam posisi berdiri. Bersama beberapa perempuan yg bertahan
di pendapa, kami membentuk lingkaran kecil. Ketika ada salah satu perusuh
(pakai helm dan penutup muka) mendekat
“Mbaknya pindah saja ke
pinggir, ngumpul jadi satu. Nanti kena lempar lho”
“Ya temen-temen Mas jangan
ngelempar dong”
“Ini kan massa banyak mbak.
Susah dikontrol. Mending mbaknya pulang aja”
“Makanya masnya dan
temen-temen mas pergi aja dari sini. kami yang punya kegiatan di sini, kenapa
mas yang ngusir”
Tak punya jawaban lagi,
akhirnya Mas perusuh itu meninggalkan kelompok kecil perempuan plus saya di
tengah pendapa.
Hatiku bergejolak. Ingin
rasanya membalas. Di saat seperti ini aku teringat cerita Cak Nun dan rombongan
diusir polisi kerajaan ketika berdoa di depan makam Nabi Muhammad. Apa aku
akting marah saja seperti Cak Nun? Ya kalo mereka langsung pergi, kalau malah
ngepruk?! Aku dikepruk sih ga masalah. Paling-paling masuk rumah sakit. Lha
kalo yang lain juga ikut dikepruk. Pada saat yang bersamaan aku juga
teringat guru-guruku yang senantiasa berwajah teduh, jauh dari kekerasan. Ada
wajah Gus Mus, Gus Dur, Bib Luthfi, Mbah Arwani. Kalau aku balas menyerang,
lalu apa bedanya dengan para perusuh itu?
Kalau saja bukan karena aku
terbayang wajah-wajah damai penuh welas asih dari guru-guru, kalau saja bukan
karena rasa malu-ku pada Cak Nun, pada jamaah Maiyah, pada Nabi Muhammad yang
setia pada Jalan Cinta, sudah kulemparkan diriku ke tengah-tengah perusuh. Ku
tempeleng kepala mereka satu per satu agar akalnya kembali ke berfungsi. Ku
tinju dada mereka untuk menghancurkan hati mereka yang beku.
Massa perusuh makin brutal.
Ku lihat ada yang membawa kayu balok segede lengan orang dewasa di
tangan. Ada yang sampai ke ruang belakang dan mencoba mendobrak pintu.
Mereka mencari yang namanya Irshad Manji, tapi tak ketemu.
"Mana Manji? Mana
Manji?" teriak mereka
Entah karena mereka belum
pernah melihat wajah Irshad Manji dan sekedar menjalankan perintah komandan
mereka untuk merusak atau besarnya kemarahan menutupi pancaindra mereka, tak
ada satupun perusuh yang menemukan Irshad Manji. Padahal sejak dari awal Irshad
Manji tak beranjak dari tempat duduknya. Ia duduk di tengah-tengah kelompok
perempuan yang dari tadi berdiri melingkar menutupi keberadaannya.
Ada seorang bapak dari
kelompok perusuh, bertubuh pendek agak gemuk, memakai peci, dan tidak
menggunakan penutup wajah sedang adu mulut dengan seorang wanita peserta
diskusi. Entah apa yang dibicarakan tapi dari tempatku berdiri, berulangkali
bapak perusuh itu mengatakan “Tidak ada kompromi! Tidak ada kompromi!” Sementara
tak jauh dari situ ada pemuda, sangat mungkin mahasiswa, berteriak dalam bahasa
Inggris agak gimana gitu, “I can destroy you!”
Ada juga tingkah wagu dari
salah satu perusuh yang tertangkap pandanganku. Setelah mengocar-acir jajanan
di piring, ia ambil satu gelas minuman, sebut saja aqua. Mungkin maksud hati
ingin meminumnya, tapi keburu ketahuan oleh mataku. Sadar sedang kuperhatikan
akhirnya dia melemparkan minuman ringan itu ke tembok. What a silly.
(Kalo pengen minum mbok ya minum aja ga usah dilempar. Tapi ya mintanya
baik-baik. ga usah pura-pura ngamuk.)
Setelah puas merusuh.
Akhirnya mereka menuju gerbang sambil berteriak Allahu akbar. Mereka
menghidupkan motor dan memainkan gas lalu pergi.
Mengantisipasi kedatangan
gerombolan perusuh untuk yang kedua kali, panitia meyakinkan Irshad Manji untuk
mau meninggalkan lokasi. Sebagian besar peserta tetap berada di lokasi sampai
akhirnya polisi datang dan panitia meminta peserta untuk pulang.
Catatan:
1. Ayat yang muhkamaat ialah
ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
2. Ayat-ayat
mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak
dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara
mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti
ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang
mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Jogja yg sedang ternoda
keistimewaannya, 10 Mei 2012
0 komentar:
Posting Komentar