Semarang - Kearifan lokal harus
dijaga dan dikembangkan bersama-sama. Pengembangan itu dilakukan dengan menjaga
dan melestarikan budaya bangsa termasuk budaya Jawa.
Hal itu disampaikan Mustofa Bisri
panggilan akrab Gus Mus, Wakil
Rois Aam PBNU dan budayawan nasional saat mengisi acara seminar nasional
bersama Gus Mus dengan tema “Memperkokoh Kearifan Lokal Sebagai Pondasi
Pembangunan Karakter Bangsa” di aula I kampus 1 IAIN, Minggu, (14/4).
“Upaya memperkokoh kerifan lokal
bangsa, diantaranya kita harus bersama-sama nyengkuyung mengembangkan
kearifan lokal. Menghidupkan kembali kearifan lokal dengan melestarikan budaya
bangsa misalnya wayang kulit, budaya Jawa, dan budaya lain di Indonesia. Bagi
masyarakat yang lupa terhadap kearifan lokal, ya perlu kita ingatkan,”
paparnya.
Wayang itu merupakan kearifan lokal
yang tidak melanggar syariat Islam. Kenapa wayang sebagai cagar budaya bangsa
bikinan Sunan Kalijaga Raden Said Lokojoyo, salah satu Walisongo kok dijauhi
para santri, itu kan harus dirawat dan diuri-uri.
“Wayang itu adaptasi dari kisah Mahabarata dan Ramayana dari
India. yang skenarionya sudah di masuki ajaran-ajaran Islam. Kalo kita
mencocokkan wayang Indonesia dengan India tidak sama karena sudah di rubah oleh
Sunan Kalijaga. Misalnya, Drupadi dalam versi mahabarata India itu istrinya
orang lima, jadi poliandri, istrinya Yudistira, istrinya Bima, Arjuna, Nakulo
dan Sadewo. Oleh sunan kalijogo dirubah drupadi hanya istrinya Yudistira,”
tegasnya.
Sunan Kalijaga bikin wayangnya juga
paham Ushuluddin, dalil man suwaro suurotan, tidak membolehkan membuat patung
manusia. Wayang itu bukan manusia, karena matanya cuma satu, makanya dikatakan
semata wayang, tangannya beda dengan orang.
“Sunan Giri gak bisa menghukumi
secara fikih, karena itu bukan manusia. Tapi ketika dimainkan Sunan Kalijaga,
wayang itu seperti manusia nyata,” tandasnya.
Keseimbangan Dunia-Akhirat
Dia menambahkan, kearifan lokal itu
juga terkait dengan keseimbangan dunia dan akhirat, merasa cukup dan bersyukur
terhadap pemberian Allah. Karena kearifan lokal itu memandang dunia, intinya
memandang dunia itu apa?.
“Jangan menganggap dunia itu
segalanya, itu menyalahi kearifan lokal. Kita juga tidak boleh melecehkan dunia
bahwa dunia itu gak penting, tapi kita beri nilai berapa dunia itu.
Keseimbangan nilai antara dunia dan akhirat itulah yang paling penting,”
tambahnya.
Gusmus mencontohkan, kenapa kita
harus ngrampok uang rakyat kalo kita sudah punya uang banyak. Kenapa? Karena
kita memandang dunia itu segalanya. Ini hal pokok yang perlu diperhatikan.
“Kita harus kembali ke kearifan lokal. Kita memandang dunia itu apa adanya, hanya
ampiran, mampir ngombe saja, atau kalo agak lama mampir hotel, rodo
suwe,” ungkapnya yang disambut tawa para peserta seminar.
Energi anda untuk dunia dan energi
anda untuk akhirat itu harus proporsional. Allah berfirman: wabtaghi fiima
aatakallah al-daaroh akhirah. Di dunia ini kita bekerja, tapi juga untuk
kebahagiaan akhirat, jangan melulu dunia terus.
“Sebagai orang yang berilmu, kita
bisa hidup di dunia sekaligus mementingkan akhirat. Kalo kita punya ilmunya,
kita bisa tidur sekaligus beribadah, kita makan sekaligus beribadah, kita tidak
makan sekaligus beribadah, kita tidur sekaligus beribadah,” papar penagsuh
Ponpes Radlautul Thalibin Rembang tersebut. (Akhmad Shoim, IPNU Cabang
Semarang)
0 komentar:
Posting Komentar