Sebentar lagi, pemerintah akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) awal April mendatang. Secara langsung, hal ini akan mempersulit rakyat kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Baik kebutuhan Sembilan Bahan Pokok (Sembako), transportasi, dan biaya hidup sehari-hari.
Beberapa data yang penulis dapat, sebelum BBM April nanti naik, kenaikan kebutuhan Sembilan Bahan Pokok sudah naik dua sampai lima persen sejak pertengahan Maret. Harga BBM di luar Jawa juga sudah naik. Di Nusa Tenggara misalnya, harga BBM per-botol sudah mencapai harga Rp.40.000, ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan BBM eceran, (Kompas, 18/3). Sementara di Sumatra dan Kalimantan, harganya hampir mencapai kisaran Rp.10.000, meski begitu, masyarakat harus rela antri seharian guna mendapatkan BBM tersebut.
Kenaikan Rp. 1500 yang ditetapkan pemerintah dapat “mencekik” leher rakyat menengah kebawah. Harga BBM yang semula Rp.4500 akan berubah menjadi Rp.6.000 membawa dampak yang sangat luas. Bagi kalangan menengah keatas, kenaikan BBM masih belum memberi pengaruh yang signifikan, karena mereka masih memiliki tabungan masa depan yang mencukupi. Kebalikannya, bagi kalangan menengah kebawah, hal ini sangat memberikan dampak negatif terhadap kehidupan sehari-hari mereka.
Dampak yang timbul akan menambah beban rakyat miskin hingga 50%. Hal ini karena adanya korelasi kenaikan BBM dengan kebutuhan rakyat kecil. Yaitu kebutuhan makan, minum dan transportasi. Bantuan Langsung Tunai yang selama ini dijanjikan pemerintah belum sepenuhnya tepat sasaran. Bahkan, misalnya tepat sasaranpun, hal itu akan sia-sia, karena belum mampu menutupi kebutuhan pangan yang semakin melambung naik. BLT itu sifatnya sementara, dibagikan langsung habis. BLT tidak akan mampu menggantikan dampak yang terjadi pada masyarakat baik langsung atau pun tidak langsung, khususnya pada masyarakat miskin.
Di bidang sosial, kenaikan BBM akan menambah angka kemiskinan semakin tinggi. Masyarakat yang dulunya hidup dengan pas-pasan, setelah kenaikan BBM, dia akan berubah menjadi kekurangan atau miskin. Mengapa demikian? Ini disebabkan tidak seimbangnya pemasukan dengan pengeluaran. Sementara pemasukan yang didapat relatif masih sama.
Jika demikian yang terjadi, maka segala cara akan ditempuh guna menutup kekurangan biaya hidup. Korelasinya terhadap naiknya angka kejahatan dan tindakan kriminalitas. Di sisi lain, angka pengemis jalanan, pemulung, dan pelacuran semakin merajalela.
Dengan kata lain, kenaikan BBM secara tidak langsung mengarahkan rakyat menuju pemiskinan yang sistemastis dan tersetruktur.
Di bidang ekonomi, kenaikan BBM akan meningkatkan biaya operasional sehari-hari. Tarif Dasar Listrik dan air juga naik. Belum lagi harga Sembilan Bahan Pokok yang semakin melambung tinggi. Hal itu harus diimbangi dengan pendapatan yang sesuai dengan kebutuhan. Belum lagi biaya kesehatan dan biaya sekolah anak-anak.
Taruhlah misalnya pendapatan rakyat kecil Rp. 1 juta sampai Rp.1,5 juta. Sementara kenaikan BBM naik 25 %. Maka kebutuhan yang harus dipenuhi kira-kira Rp. 1,5 juta sampai Rp.2 juta-an. Ini dapat dianalisis bahwa mereka masih menanggung hutang kurang lebih Rp.500.000 perbulan.
Di bidang politik, kenaikan BBM akan membuat para pejabat elit politik menaikkan pungutan liar. Bahkan lebih parah lagi dia akan meningkatkan pendapatan dengan menambah uang yang dikorupsi.
Secara politis, dengan terjadinya kenaikan BBM akan mengakibatkan semakin tingginya biaya politik yang harus dibayar dan semakin maraknya penyelewengan penyelenggaraan kekuasaan yang terjadi di negeri ini.
Merupakan rahasia umum, pemberian sejumlah “biaya siluman” dalam menggolkan suatu peraturan. Dana ini tentunya tidak tertulis dalam lembaran administrasi negara. Namun berlangsung secara “wajar” dalam penyelenggaraan administrasi kenegaraan.
Sekarang kita mengalami krisis multidimensi. Setiap hari, rakyat disuguhkan beberapa kasus yang menimpa para elit politik yang tak kunjung usai. Mulai dari Nazaruddin, Anggi, Dhani, Anas Urbaningrum, Ditambah lagi kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Kenaikan Bahan Bakar Minyak. Sementara tunjangan pegawai negeri semakin naik. Ini sangat ironis. Rakyat kecil seperti petani tercekik dengan kebijakan pemerintah yang tidak membela rakyat kecil. Yaitu harga gabah turun, sementara harga beras naik.
Mengutip bahasanya Dahlan Iskan, Mentri BUMN, mau tidak mau BBM memang harus dilawan dari dua arah: dari gas dan listrik. Kendaraan umum yang besar-besar silahkan beralih ke gas. Kereta api harus beralih ke listrik sebagaimana KRL. Kendaraan pribadi harus beralih ke listrik. Bukan hanya hemat BBM, juga akan sangat baik untuk lingkungan hidup. Mobil dan motor listrik tidak menimbulkan emisi sama sekali.
Dengan demikian, jadi yang kita perangi bukan kenaikan harga BBM, tetapi yang kita perangi adalah BBM-nya. Meskipun harga BBM naik seratus kali, dengan solusi yang diberikan Dahlan Iskan, kita tidak akan kebingungan.
Di sisi lain, Penulis berharap, pemerintah ada kebijakan misalnya gaji ribuan DPR yang berkisar antara Rp.40 juta-an dan pegawai negeri dipotong 10 sampai 30% guna menutup defisit Negara. Itu akan lebih baik dari pada menaikkan harga Bahan Bakar Minyak. Yang dampaknya membuat rakyat kecil menderita. Semoga.
Akhmad Shoim
*Staf Humas IAIN Walisongo Semarang, litbang SKM Amanat IAIN
Hp: 08562674166
Email: soimah49@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar