Oleh: Akhmad Shoim*
Pembahasan
RUU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang akan
disahkan besok hari Jum’at 12 April oleh Dewan Perwakilan Rakyat banyak menuai
pro dan kontra.
Pihak
yang pro berasal dari para anggota dewan yang berpendapat bahwa adanya RUU
Ormas nanti bisa mengurangi konflik anarkisme antar kelompok. Dalam hal ini,
pemerintah (DPR) seolah-olah memaksakan pengesahan RUU Ormas yang banyak menuai
kritik agar segera menjadi Undang-Undang.
Meskipun
begitu, pemerintah seharusnya melibatkan Ormas-Ormas yang ada untuk memberikan
masukan serta kontribusinya terkait RUU Ormas. Karena RUU nanti akan berdampak
langsung terhadap hidup mati serta maju atau mundurnya Ormas yang ada di tanah
air.
Sementara
pihak yang kontra berasal dari sebagian besar Ormas terbesar di Indonesia.
Diantaranya yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, HTI, KPMP, dan yang lainnya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan menolak rancangan RUU Ormas tersebut,
dengan alasan dikhawatirkan menimbulkan sikap represif dan otoriter serta
membuka intervensi pemerintah terlalu banyak terhadap Ormas. RUU Ormas dianggap
mengebiri kebebasan berorganisasi masyarakat sipil. Harus ada pembedaan antara
ormas, yayasan dan perkumpulan.
Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama menyatakan RUU Ormas dihapus saja, hal itu disebabkan
naskah RUU kurang melihat faktor kesejarahan Ormas dalam kontribusinya terhadap
pembentukan NKRI. Sementara Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menolak
terhadap adanya RUU Ormas tersebut. HTI menganggap sejumlah pasal memberatkan
ormas. Di antaranya pasal 2 dimana HTI menganggap akan adanya penghidupan
kembali ketentuan asas tunggal, pasal 7 terkait larangan berpolitik bagi ormas,
dan pasal 58, 61, dan 62 mengenai kontrol ketat ormas oleh pemerintah karena
dikhawatirkan akan kembali seperti zaman orde baru.
Terdapat
beberapa pasal yang tidak sesuai dengan kebanyakan Ormas di Indonesia.
Pasal-pasal yang terdapat dalam RUU Ormas mengandung terlalu banyak kelemahan
dan kesalahan. Beberapa kelemahan tersebut adanya tumpang tindih hukum UU yang
ada di Indonesia. Oleh sebab itu perlu diperhatikan sebelum RUU ini disahkan.
Dasar
kontroversi RUU Ormas terhadap pasal-pasal yang ada, di pasal 1 definisi ormas
terlalu luas. Di pasal 8-14 pendirian ormas yang mengaburkan bentuk organisasi,
antara perkumpulan, ormas, yayasan. Pasal 15-18 aturan menganai kewajiban
pendaftaran bagi seluruh ormas. Surat keterangan terdaftar dikeluarkan oleh
menteri dan kepala daerah. Pasal 50 larangan terhadap multitafsir. Pasal 51-53
ketentuan sanksi membuka peluang bagi pemerintah untuk membubarkan atau
membekukan ormas.
Perlu
diketahui bahwa, RUU ini dapat melemahkan eksistensi masyarakat sipil.
Inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28, serta memasung kebebasan
berserikat. RUU Ormas tidak memiliki urgensi yang jelas. Bisa jadi hal ini
meluas untuk mengontrol kelompok yang peduli terhadap HAM, pekompok peduli anti
korupsi ataupun kelompok yang peduli
lingkungan .
Semua
itu menunjukkan, RUU Ormas potensial digunakan kekuasaan untuk menekan
organisasi masyarakat sipil. Ada semangat anti-demokrasi dengan keinginan
mengontrol masyarakat terlalu ketat.
Masyarakat
sipil seolah-olah menjadi bulan bulanan anggota dewan, yang seenaknya membuat
undang-undang tanpa memperhatikan pekentingan masyarakat banyak. Tentunya masih
banyak RUU lain yang lebih penting untuk dibahas, misalnya pembaruan UU tentang
Yayasan dan Perkumpulan. Sudah lengkap kritik terhadap kelakuan buruk anggota
dewan. Nama rakyat dijadikan tameng untuk
memperkaya diri, suka jalan-jalan menghabiskan uang Negara, suka korupsi,
melakukan tindakan amoral, membuat kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Penulis
berharap adanya solusi kongkrit dalam menangani masalah ini. Pertama, semua
pasal-pasal yang bermasalah dan lemah seharusnya dibenahi bersama perwakilan
pimpinan Ormas yang ada. Kedua, jangan sampai kedepan muncul pengekangan,
pembatasan ataupun pemberangusan pemerintah terhadap Ormas-Ormas yang ada
seperti pada masa Orde Baru. Jika solusi itu bisa tercapai maka penulis yakin
tidak akan ada lagi kontroversi dalam pemutusan RUU Ormas menjadi Undang
Undang.
Demikian
juga, agar RUU nanti sesuai dengan harapan masyarakat sipil, maka perlu ada
komunikasi antara Pansus RUU Ormas dan sejumlah organisasi masyarakat. Pansus
RUU Ormas harus mendengarkan dan mempertimbangkan semua aspriasi yang
disampaikan oleh sejumlah organisasi masyarakat.
*Litbang
SKM Amanat IAIN Walisongo.
1 komentar:
semakin kacau....
Posting Komentar