Goenawan Mohamad
Sebuah dongeng tentang dongeng.
Ada sebuah kota yang amat kecil di
sebuah zaman yang amat hening di mana orang-orang ingin mendengar cerita
Lubdaka. Tapi tak ada yang tahu kisah itu. Maka dewan kota meminta seorang
brahmana mencarinya.
Ia dipilih karena ia pernah
menemukan dua helai daun lontar yang tersimpan di candi lango; di helai pertama
tertulis, “Sang Hyang ning Hyang amurti niskala”. Di helai kedua, “Stulakara
sira pratistha hanenghrdaya-kamala-madya nityasa”. Ia tak mengerti arti
kata-kata itu. Tapi penjaga candi itu mengatakan bahwa kedua kalimat itu memang
bagian pembuka cerita Lubdaka. Dan sang brahmana percaya.
Maka ia pun berangkat memulai
pencariannya bersama dua orang murid. Dengan sebuah biduk, mereka menyeberangi
Danau Tamranga, dan tiba di sebuah biara dengan 17 rahib yang tak menyebutkan
agama mereka. Di sana ekspedisi itu menemukan sebundel naskah cerita Lubdaka.
Mereka menyalinnya selama seminggu. Tapi, pada akhir kerja mereka, pemimpin
biara itu mengatakan, “pergilah tuan-tuan ke pertapaan tua di Pulau Mahuli. Di
sana ada cerita Lubdaka yang lebih lengkap.”
Dan mereka pun berangkat, dan
menemukan pertapaan itu, dan mereka diizinkan membaca naskah itu beserta
terjemahannya. Tapi pendeta tertua disana berkata, “Di seberang Danau Tamranga
selalu ada cerita Lubdaka. Tapi salah jika ingin menemukan yang lengkap.
Tuan-tuan sendiri yang harus melengkapinya.”
Sang brahmana dan murid-muridnya
terkesima mendengar itu-dan dengan hati penuh mereka pun kembali ke kota yang
mengutus mereka. Tapi kali ini mereka harus menembus sebuah padang pasir
sebelum sampai ke tepi danau. Tiba-tiba badai gurun yang mengerikan melabrak.
Ketika semua reda dan langit tenang kembali, kedua murid itu tak melihat lagi
guru mereka di atas kuda. Sang brahmana lenyap, kedua murid itu jadi setengah
buka, dan naskah yang mereka salin di atas kertas Cina robek-robek, hurufnya
pudar.
Yang tersisa jelas hanya satu
halaman yang terlepas, bertuliskan “Sang Hyang ning Hyang amurti niskala…”.
Tapi setidaknya mereka ingat
beberapa fragmen cerita yang dicari. Dan itulah yang mereka sampaikan ke dewan
kota.
Syahdan, dewan kota sedang sibuk,
maka diputuskan bahwa para anggota akan mendengarkan dongeng itu selama dua
hari, fragmen demi fragmen. Semua akan direkam dan kemudian cerita akan disusun
jadi utuh, lalu disebarkan ke seluruh penduduk.
Tapi, di ujung proses, ternyata
ada dua versi cerita Lubdaka. Ini sinopsisnya:
VERSI I. Lubdaka seorang
pemburu yang mencari hewan buruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari
ia tak bisa pulang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan.
Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di
atas sebuah dahan. Cemas terjatuh bila ia tertidur, ia melawan kantuk dengan
memetik daun maja satu-satu, lalu dijatuhkannya ke permukaan telaga untuk
menyaksikan bulan yang terpantul di air itu seperti tersenyum kepada bumi.
Adapaun danau itu ada sepotong batu panjang yang tegak, dan daun-daun itu
sesekali jatuh di pucuknya. Itulah yang ia lihat di waktu pagi. Yang tak ia
ketahui, Dewa Syiwa yang di kuil-kuil dilambangkan dengan sebuah lingga sangat
senang melihat perbuatan Lubdaka. Syiwa mencatat si pemburu sebagai calon
penghuni surga.
VERSI II. Lubdaka seorang
pemburu yang mencari hewan buruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari
ia tak bisa pulang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan.
Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di
atas sebuah dahan. Cemas terjatuh, ia berdoa sepanjang malam sambil menjalankan
ibadat, yaitu menebarkan daun maja ke sepotong batu panjang yang ia lihat tadi
di telaga itu; baginya batu itu lingga yang mewakili Syiwa. Maka Syiwa pun
sangat senang akan perbuatan Lubdaka. Ia mencatat si pemburu sebagai calon
penghuni surga.
“Versi mana yang benar?” Tanya
ketua Dewan.
“Terus terang saya tak tahu,
Tuan,” jawab salah seorang murid sang brahmana yang hilang. “Kami berdua juga
tak yakin bacaan kami. Kami setengah buta.”
“Tapi logisnya versi kedua yang
benar,” jawab murid yang satunya. “Dewa mendengarkan doa Lubdaka sepanjang
malam. Dalam versi ini, Lubdaka berbuat dengan niat yang jelas. Dewa tak akan
mengaruniai seorang yang iseng karena takut mengantuk.”
Tapi niat itu pamrih. Dalam versi
kedua, lubdaka mengharap bantuan dewa, sedangkan dalam versi pertama, Lubdaka
tak punya pamrih apa pun. Di atas pohon itu ia menciptakan imajinasi yang
membuat bulan dan bumi saling bersahabat. Ia layak hidup bahagia yang kekal.”
Niat itu penting, kan? Tanpa niat,
perbuatan hanya seperti air kali yang mengalir kanera perbedaan tinggi tanah.”
Dewan kota pun bingung. Maka
diundanglah seorang penelaah kitab-kitab lama. Tapi orang ini pun tak bisa
membaca tulisan pudar di kertas robek.
“hanya kalimat ini yang saya
mengerti,” katanya menemukan kertas yang bertuliskan “Sang Hyang ning Hyang
amurti niskala…”. Baris ini bertaut dengan baris yang tersimpan di Candi
Lango. Dalam tafsir saya, seutuhnya berarti, “Dewa dari segala dewa yang
nir-bentuk di dunia yang tak kasatmata/sifatnya yang nir-bentuk mewujud serupa
teratai yang mekar tanpa henti di hati manusia di dunia ini yang tampak.
“Itu kalimat mpu tanakung, dan
agaknya versi I yang benar. Dengan bersahaja, Lubdaka terus-menerus menciptakan
imajinasi yang baru di malam yang membosankan. Ia berbuat kebaikan. Ia ikuti
gerak sang teratai yang tak henti-hentinya mekar kembali.”
Dewan di kota yang sangat kecil
itu masih bingung, tapi konon zaman tak seterusnya hening.
Tempo, 8 Juli 2012
0 komentar:
Posting Komentar