Cerpen Amilia Indriyanti, Alumni SKM AMANAT IAIN Walisongo
DAN semua bermula dari cinta. Semua pun berakhir dengan
cinta. Cinta adalah permulaan yang indah. Mengusung pertemuan dan rasa cemburu.
Kelak kita semua merasakan. Dengan siapa dan di mana hal itu tidak perlu
dipertanyakan. Mempertanyakan berarti mengukuhkan kebodohan-kebodohan,
sedangkan kita adalah pembawa-pembawa risalah. Cinta selalu diawali dengan
pertemuan. Sebuah danau berair hijau kebiruan telah mempertemukan kita. Dalam
belenggu rindu dan kalut yang utuh: tempat kuharapkan anak-anakku kelak akan
dikandung, dilahirkan, oleh kau sebagai istriku. Dari atas sebuah sampan yang
merangsek perlahan ke tengah danau, kutulis puisi untuk kekasih. Tentang
keindahan pertemuan. Pertemuan yang alpa untuk dijadikan sebuah janji. Mungkin
karena enggan mengangankan sebelumnya. Sering angan membuat majikannya menjadi
pesakitan. Sementara, hal itu tidak perlu terjadi.
***
MEI, Kamis pukul 11.13. Kuciptakan sebuah pertemuan di antara
kita. Di tepi sebuah danau yang berair hijau kebiruan. Tempat pertama kali kau
membuatku terpaku dan berlanjut dengan bertukar kartu nama.Di bawah cemara,
ketika angin berembus membawa kabar hari mulai petang, di telingamu kubisikkan:
Dik, kita tidak usah pulang malam ini.”Kenapa?” ujarmu penuh tanya. Kedua
pipimu merona merah.Kupandang wajahmu dengan sorot mata terlembut yang aku
punya. Kupu-kupu saja cemburu melihat cara memandangku kepadamu, sehingga ia
memilih terbang melewati wajahku dan aku berkedip. Kemudian kujawab
pertanyaanmu.”Karena ingin kupetik buah khuldi di dadamu.”"Jangan!” kau
memekik tertahan.”Kau ingin kita bertemu, bukan karena kau rindu? Tapi karena
kau ingin aku menjadi Hawa yang membuat Adam terlempar ke bumi.”"Bukankah
karena Hawa dan Adam terlempar ke bumi yang menyebabkan surga menjadi lebih
berarti dan lebih indah?”"Iya, kau benar. Tetapi aku tidak mau mengambil
risiko untuk menjadi orang yang terlempar.”"Kita tidak akan terlempar, tetapi
ditempatkan. Kita saling mencinta. Pencipta cinta pasti merestui
kita.”"Ya, kau benar. Kita tercipta dari cinta. Kita musnah juga karena
cinta. Dan aku tidak ingin gara-gara cinta bumi menjadi ajang perang.”"Oh,
Sayang, tidak mungkin cinta menjadi alasan sebuah pertikaian.”"Yah,
Sayang! Bagaimana tidak mungkin? Kan bisa saja semua wanita yang melihatmu,
mencemburuiku, karena kemesraan yang kauberikan kepadaku.”"Ya, Sayang, kau
benar. Dan semua laki-laki pasti akan iri padaku, karena kekasih-kekasih mereka
akan memutusnya, karena merasa cinta yang diberikan sangatlah kurang.”Semua
makhluk cemburu melihat betapa mesranya kita sore itu. Danau yang berair hijau
kebiruan sampai menangis karena iri. Ia sangat menyesal, kenapa mesti melihat
adegan semesra ini. Ia pun berterima kasih kepada senja, sebab senja terus
mengetuk-ngetuk kaki kita supaya cepat pergi menjauhinya.Ingin sekali aku
mengubahmu menjadi Hawa yang rela merayu dan merengek kepada Adam untuk memetik
buah khuldi. Kenyataannya kau bukan Hawa dan terpaksa aku mengukuhkan
keinginanku untuk mencicipi buah khuldi itu. Kata banyak orang, buah khuldi
adalah buah terlezat yang pernah ada. Sekarang aku baru bisa memafhumi mengapa
sampai ada hikayat Siti Zubaidah, Layla-Majnun, Zulaikha-Yusuf, Yatim Asmara,
Seribu Satu Malam. Legenda orang-orang yang sedang jatuh cinta. Perempuan dan
pria penguasa semesta lamunan karena hati-hati mereka terbentuk oleh cinta.
***
FEBRUARI, pukul 13.12. Dering telepon memecah suasana
siang.”Halo…” sungguh mesra suara itu.Memutuskan sebuah pertemuan tidak sesulit
yang pernah kuduga. Suara itu suaramu. Kau ingin kita bertemu dan aku setuju.
“Aku rindu,” katamu singkat memberi alasan. Mungkin karena kekuatan “suara
mesra”-mu yang membuatku cepat membuat keputusan. Segera aku menemuimu di
tempat yang telah kita tentukan.Dan kita bertemu di tepi danau yang berair
hijau kebiruan, danau terindah. Tempat itu akhirnya bisa kita jangkau kurang
dari satu jam. Einstein benar, imajinasi sering lebih penting dari ilmu pasti.
Dalam perjalanan kubuat banyak daftar rencana. Bukan karena logikaku yang hebat
tapi karena khayalku yang ingin menyelamatkan pertemuan kita. Sebelumnya kita
pernah bertemu dan gagal. Setelah sembilan bulan kita tak pernah berjumpa.
Ragamu tidak ada perubahan yang mencolok. Masih seperti dulu. Tetapi danau ini
sudah banyak berubah. Airnya tidak bening lagi seperti dulu, tetapi agak
keruh.Kau sudah menungguku. Duduk di antara bunga melati dan anyelir. Aku
menghampirimu. Seperti menahan rindu yang terlalu. Sinar matamu bersinar
mengikuti gerak tubuhku yang mendekatimu. Ada kelembutan di sana.
***
MENGHABISKAN waktu bersama, membuat kita tidak menyadari gelap
yang sehelai demi sehelai membawa dingin menggiring langkah malam. Beberapa
bunga melati bersiap mekar dengan kesaksian kita. Kita selalu tersenyum melihat
tingkahnya. Dan tiba-tiba kau memintaku menghisap kokain di bibirmu. Bibir yang
ranum. Aku tak pernah menyangka kau bisa seberani itu.”Apa?”"Kau bergurau,
Sayang. Kita tahu itu mengandung candu.”"Ayo, isaplah untukku. Rinduku akan
kuhabiskan petang ini.”"Tidak. Di bibirmu tidak ada
kokain.”"Masa?”"Iya! Sadarlah, Sayang. Jangan suruh aku menjadi Romeo
yang mati karena racun yang ditawarkan Juliet.”"Dan mereka
bahagia.”"Aku tidak pernah tahu mereka bahagia atau tidak setelah
mati.”"Kalau begitu, sekarang petiklah buah khuldi di dadaku saja,
habisilah rinduku.”"Oh!”"Dulu kau pernah memintanya dan tidak aku
berikan. Sekarang ambillah.”"Sayang, buah khuldi itu sudah tidak ada lagi
di sana.”"Kau berbohong ya….,” kau merengek persis seperti Hawa yang aku
inginkan sembilan bulan lalu. Keinginan itu sudah aku timbun. Sekarang aku
hanya ingin menatapmu, tanpa berupaya dan tanpa berbuat apa-apa pada tubuhmu.
Cintaku suci. Untuk menghindari hal-hal yang diinginkan akhirnya aku mengajakmu
pulang. “Sebaiknya sekarang kita pulang, di sini sangat sepi, hanya tinggal
kita bertiga.”"Hanya berdua.”"Bertiga. Yang ketiga setan.”"Ada
apa dengan setan? Jangan pernah berpikir mencari kambing hitam untuk
menolakku.”"Aku hanya ingin menjagamu, Sayang.”"Menjaga? Kata itu telah
kehilangan makna. Kau bilang mau menjagaku, bagaimana mungkin? Kau toh seorang
yang tidak bertanggung jawab.”"Aku tidak bertanggung jawab? Petang ini kau
aneh sekali, Sayang.”"Kau juga aneh. Mengaku bertanggung jawab, tetapi
tidak berani berbuat. Terus bagaimana bentuk tanggung
jawabmu?”"Maksudmu?”"Tidak akan pernah ada neraka kalau Adam tetap
berada di surga. Dan nur Muhammad yang bahkan dibuat jauh sebelum Adam juga
tidak akan pernah menjadi sesosok idola. Adam berani berbuat untuk Hawa. Dan
dia telah menunjukkan tanggung jawabnya. Karena itu dia dipercaya menjadi nabi.
Bahkan dianggap sebagai orang suci.”“Sedang kita tidak akan menjadi apa pun,
siapa pun, kalau tidak mau berbuat apa-apa, hanya karena takut dosa. Dosa itu
pencarian. Dosa itu bukan awal juga bukan akhir. Tidak apa-apa setan menemani
kita malam ini. Bukankah setan sekarang sudah menjadi kambing hitam yang paling
layak? Lagi pula manusia lebih suka memilih untuk lemah sehingga merasa sah
untuk mereguk kenikmatan godaan dan senang disesatkan.”"Tidak. Kau salah,
Sayang, aku tidak mencari alasan untuk menolakmu. Aku mencintaimu. Dan aku
ingin kau menjadi Zulaikha yang seluruh tubuhnya bergelimang cinta. Pada saat
yang tepat aku akan mengisap kokain dan mengambil buah khuldi yang kautawarkan yang
dulu pernah aku minta.”"Pada saat aku sudah tidak menginginkannya? Kau
mengelak dari cintaiku. Kau tidak ingin aku bahagia, mesti sebentar.”"Oh,
bukan itu maksudku, Sayang.”"Kalau kau ingin aku jadi Zulaikha, lebih baik
kau menjadi Majnun saja. Dan kita tidak akan pernah bertemu, biarkan rinduku
membatu.”
***
KARENA cinta tidak lebih dari sepotong kabut yang kadang hitam
kadang putih, tidak aku turuti hasratku untuk mendekapmu, hasratmu untuk
kudekap. Karena cintaku padamu sungguh terlalu, kubiarkan setetes demi setetes
air hujan dari matamu membanjiri pipi. Tidak akan kubiarkan Tuhan cemburu
melihat kemesraan kita dan akhirnya mengirim kutukan. Meskipun mati-matian aku
mempertahankan diri, kalau saja aku punya hak atas tubuhku aku sudah bunuh diri
di hadapanmu untuk membuktikan betapa aku mencintaimu. Semua keputusan memang
ada konsekuensinya.”Kau tahu, Sayang, untuk tidak memenuhi keinginanmu (juga
keinginanku) aku harus berlapar-lapar puasa, berhari-hari, berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan. Kau yang telah mengajariku tentang ‘bertahan’ setelah
kita bertemu bulan Mei tahun kemarin.”"Untuk apa kau lakukan itu,
sedangkan aku tidak tahu apakah besok kita masih bisa bertemu?”"Kenapa?
Kita akan mengikatkan diri dalam pernikahan.”"Pernikahan? Kalau esok hari
aku harus menikah dengan orang lain, bukan dirimu? Mungkin aku sudah menolak,
tetapi ternyata aku harus menerimanya. Aku tidak bisa melakukan apa pun seperti
yang kuinginkan, makanya aku besok harus bersedia dinikahkan dengannya.”Kau
menangis. Terisak-isak. Mendekap wajahmu dengan kedua tangan. Aku sangat paham.
Aku telah memerawani hatimu dan kau ingin aku memerawani tubuhmu juga. Aku
tidak mau melakukan bukan karena aku tidak ingin. Sesungguhnya tidak ada yang
lebih benar, ketika hasrat nafsu tersalurkan antara dua manusia yang belum
menikah. Tidak lelaki tidak juga perempuan keduanya benar. Keduanya salah.
Kalau salah satunya lebih kuat, dosa itu tidak akan ternikmati. Dan aku
laki-laki harus lebih kuat, karena aku adalah calon pemimpin, setidaknya bagi
keluargaku nanti.”Oh, sudahlah, kalau memang kita tidak dapat bersama di dunia,
kita bisa bersama di surga nanti.”Tenggorokanku tersekat tidak bisa berkata.
Akhirnya keluar juga kalimat yang selalu menjadi pelegal sebuah perpisahan
untuk kasih tak sampai. Tiba-tiba kau menatapku tajam. Air mukamu memukauku dengan
senyum. Itu sebuah cibiran dan kau berkata, “Kau masih ingin bertemu denganku
setelah kita mati nanti?”"Ya, Sayang, aku begitu mencintaimu. Dunia dan
akhirat.”"Kalau begitu maafkan aku.”"Kau telah menyiksaku dengan
sakit rindu, menolak untuk menyembuhkannya, kemudian aku harus menerima orang
yang tidak aku cintai. Kau menolak kutuk, tapi kauciptakan kutuk untukku,
bahkan sebelum aku merasa bahagia. Di surga aku tidak ingin bertemu
denganmu.”"Di dunia aku banyak bertemu dengan orang-orang menyebalkan, masa
di surga pun aku harus ketemu denganmu lagi, orang yang menganggap diri penuh
cinta, kenyataannya tanpa cinta.”Diam, lengang, air danau yang sudah tidak
bening lagi berubah menjadi danau air mata karena ia menangis. Ia bahagia
karena tidak ada lagi kemesraan dari kita yang dapat membuatnya iri. Diakui
atau tidak kita sedang bertengkar. Bahkan semua makhluk pun terasa mencemooh
kebodohanku, yang tidak bisa mempertahankan kemesraan cinta, kemesraan yang
dapat membuat siapa pun atau apa pun cemburu.Kau berdiri. Tubuhmu meliuk
sebentar, menyibakkan rambut yang menutupi separo wajahmu ke punggung. Kau
membuatku terkesima, entah sudah berapa ribu kali senja ini kau membuatku
terpedaya. Lenganmu kau ulurkan untuk menjabat tanganku. Akhirnya aku berdiri,
kita sama-sama tersenyum. Setelah itu kau berkata, “Aku tidak ingin bertemu
denganmu di surga nanti.”"Kenapa kita bisa memuaskan cinta dan rindu di
sana?”"Hidup sekali, mati sekali. Jatuh cinta boleh berkali-kali,
sedangkan cinta sejati hanya terjadi sekali. Aku mencintaimu saat ini. Bukan
harga mati. Tetapi merupakan proses. Ini hanya arena berlatih. Lagi pula cinta
pertama adalah kenangan dan cinta terakhir adalah masa depan. Aku tidak akan
mengorbankan diri demi sebuah kenangan. Mungkin perlu kamu tahu sebelum aku
jatuh cinta padamu, aku tidak tahu siapa yang paling layak aku cintai. Tetapi
sekarang aku tahu dan rasanya sekarang aku sedang mabuk cinta kepada-Nya.
Hatiku bergetar. Kau tahu Rumi, Balkis, Majnun, Siti Khatidjah? Mereka bisa
tahu cinta sejatinya, setelah merasakan jatuh cinta. Rumi jatuh cinta dengan
Tabris. Balkis dengan Sulaiman. Majnun dengan Layla. Siti Khatidjah dengan
Muhammad.”"Aku minta maaf, mungkin aku tidak bisa memenuhi keinginanmu.
Aku pikir setelah di surga nanti, aku akan berjumpa dengan Yusuf dan Muhammad.
Pada saat itu apakah aku masih bisa mengingatmu. Apalagi kalau Tuhan melumatku
dengan cinta. Aku yakin, benar-benar yakin, pada saat itu, jangankan bertemu
denganmu, mengingatmu saja aku tidak mau. Lagi pula aku ingin ada peningkatan
dalam hidupku. Masa jauh-jauh di surga yang kutemui hanya kau. Tidak usah di
surga pun aku bisa ketemu denganmu. Yang jelas, di sana aku tidak mungkin mau
menemui orang-orang menyebalkan macam kau. Di surga aku hanya ingin ketemu
dengan kekasihku, Tuhanku, dan akan kuhabiskan cintaku di sana. Sepuasku.
Titik.””Dadah… Selamat tinggal.”Hah!!!
Dimuat di Suara Merdeka, 2002.
0 komentar:
Posting Komentar