KUNTOWIJOYO (2004)
membagi periodesasi Islam dalam tiga tahap, yaitu Islam sebagai mitos,
ideologi, dan ilmu. Saat ini, mestinya kita sudah memasuki tahapan ketiga. Pada
tahap ketiga atau periode ilmu, terjadi aktivasi objektifikasi menuju ”Islam
sebagai rahmat untuk semua”.
Dalam periode ini, Kuntowijoyo menandaskan perlunya
objektifikasi Islam, yakni konkretisasi dari sebuah keyakinan yang apabila
terealisasi dalam perbuatan akan dirasakan oleh orang nonpemeluk Islam
sekalipun sebagai sesuatu yang natural atau sewajarnya, bukan sebagai perbuatan
keagamaan. Namun dari sisi ”pelaku”, tetap merasa bahwa hal tersebut
sebagai perbuatan keagamaan atau amal ibadah.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyatakan, ilmu tanpa
amal adalah gila dan pada masa yang sama amalan tanpa ilmu merupakan
kesia-siaan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal dan meminta
dikembalikan lagi ke dunia setelah mati, seperti firman Allah SWT dalam QS
As-Sajdah ayat 12, yang berbunyi; ”...Wahai Tuhan kami, kami telah melihat
kebenaran di hadapan kami, kami telah mendengar dengan sejelas-jelasnya (akan
perkara yang dahulu kami ingkari); maka kembalikanlah kami ke dunia lagi agar
kami bisa mengerjakan perkara yang baik-baik. Sesungguhnya kami sekarang telah
yakin.î
Tentu saja itu tak akan terjadi karena kita sudah telanjur mati.
Untuk itu, kita harus memanfaatkan hidup di dunia ini sebaik- baiknya dengan
menuntut ilmu dan beramal, menjauhi sikap berbangga-bangga dengan amal, padahal
mungkin ilmunya tidak kita miliki. Jika kita jujur, dari semua ilmu yang telah
kita miliki ternyata sangat sedikit yang kita manfaatkan dan kita amalkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kontribusi Kampus
Lantas, apa peran dan kontribusi kampus pada masa kekinian?
Kampus —universitas atau perguruan tinggi— semestinya bisa menjadi provider
bagi keberlangsungan Islam sebagai ilmu. Tidak hanya kampus yang berbaju Islam
seperti institut atau sekolah tinggi Agama Islam yang juga kini berubah menjadi
Universitas Islam saja, melainkan juga bagi kampus-kampus yang tidak
secara khusus mengkaji agama Islam.
Berbagai kajian, penelitian, workshop, diskusi, perdebatan,
bahkan pergulatan pemikiran mengenai Islam sebagai ilmu sudah sepantasnya
dilakukan di kampus tanpa tekanan dari birokrasi, negara, maupun kepentingan
tertentu. Maraknya kegiatan keagamaan Islam di kampus, termasuk dalam hal ini
kajian Islam sebagai nilai-nilai universal, perlu didorong menjadi sesuatu
pemahaman bahwa Islam bisa diterima semua orang, baik muslim maupun nonmuslim.
Dengan cara inilah, Islam secara instrinsik termanifestasi dalam
perilaku sehari-hari kehidupan. Kampus harus berperan sebagai media bagi siapa
pun untuk menuntut ilmu yang tidak terbatas, sehingga intellectual
curiousity masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang. Masyarakat saat ini
sudah semakin haus akan ilmu pengetahuan dan kampus seharusnya semakin memberi
dorongan.
Namun, bukan berarti berbagai kajian ilmiah keislaman tersebut
bebas nilai. Di sinilah perlunya pemahaman ilmuwan kampus bahwa mereka memiliki
tanggung jawab sosial. Apa gunanya penelitian dan pengkajian ilmiah keislaman
di kampus dilakukan jika tidak bermanfaat bagi masyarakat? Sebaliknya dan yang
terpenting adalah, bagaimana menjadikan berbagai penelitian dan pengkajian
keislaman di kampus memiliki kepekaan sosial dengan kebutuhan masyarakat luas.
Kajian keislaman kampus harus berusaha meneguhkan bahwa Islam
adalah rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamiin). Apabila tri dharma perguruan
tinggi sudah maksimal dilakukan oleh civitas akademika, niscaya kampus akan
menjadi kawah candradimuka bagi para calon cerdik dan pandai yang berwawasan
keagamaan yang luas sekaligus memiliki kepekaan sosial tinggi.
Untuk menuju ke sana, tantangan saat ini sangat besar, yakni berhadapan
dengan merebaknya sikap individualistik, materialistik, maupun hedonistik
sebagai dampak global. Namun, apakah kita akan berdiam diri? Tentu saja tidak,
karena selama kampus masih dimiliki oleh para kaum cerdik pandai yang memiliki
hati, niscaya berbagai dampak di atas insyaallah bisa diatasi. (43)
– Prof Dr Ravik Karsidi MS, Guru Besar Sosiologi Pendidikan dan
Rektor Universitas Sebelas Maret
0 komentar:
Posting Komentar