Selamat Datang di Situs akhmadshoim.blogspot.com Cp. 082323989890 e-mail: soimah49@gmail.com

Rabu, 02 Mei 2012

Menggagas Kurikulum Kecerdasan


Muhammad Abu Nadlir *
JEAN Peaget, psikolog Swiss, mengatakan, tujuan paling prinsip dari pendidikan adalah menciptakan manusia yang mampu melakukan hal-hal baru, bukan hanya mengulang apa yang dilakukan generasi sebelumnya. Inti dari tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia kreatif, memiliki daya cipta, dan penemu (Jean Peaget, The Psychology of Intelligence, 2001, h. 131).
Namun, bila melihat keadaan di Indonesia, tujuan pendidikan sebagaimana yang dikehendaki Jean Peaget sama sekali belum terjadi. Banyak lembaga pendidikan di negeri ini hanya mengajarkan segala hal yang tidak sesuai dengan kemampuan peserta didik. Akibatnya, banyak peserta didik stres gara-gara yang mereka pelajari di sekolah tidak sesuai dengan kemampuan mereka.

Kurikulum Berbasis Kecerdasan
Salah satu masalah besar dalam dunia pendidikan adalah ketidaktepatan dalam memahami kecerdasan murid-murinya. Peserta didik sering dianggap tidak cerdas karena tidak memahami dengan baik mata pelajaran tertentu, terutama matematika.
Howard Gardner, psikolog dari Universitas Harvard mendekonstruksi pandangan ini dengan menyuguhkan sembilan jenis kecerdasan (Howard Gardner, The Development And Education Of The Mind: The Selected Works Of Howard Gardner, h. 47-54). Macam-macam kecerdasan ini memungkinkan seseorang memiliki kemampuan tertentu yang menonjol, bahkan mungkin tidak disadari oleh yang bersangkutan.
Sembilan kecerdasan tersebut adalah: Pertama, kecerdasan linguistic-verbal, yang memungkinkan seseorang sangat terampil berolah kata, sehingga apa yang dipikirkan dapat dituangkan dalam kata atau kalimat, lisan maupun tulisan. Kecerdasan jenis ini sangat mendukung untuk bercerita, berdebat, berdiskusi, menyampaikan laporan, dan sebagainya yang sejenis yang sangat mendukung berbagai profesi, antara lain: guru, pengacara, orator, penyiar/presenter, penyair, dan editor. Kecerdasan inilah yang menonjol dalam diri orang-orang seperti Shakespeare dan Homeros.
Kedua, kecerdasan logico-mathematic, yang membuat seseorang sangat mudah berinteraksi dengan angka-angka dan mampu memahami hubungan kausal, sehingga memiliki cara berpikir yang logis dan dengan cepat mampu memahami fenomena yang bersifat ilmiah. Kecerdasan jenis ini akan memudahkan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar dalam kriteria logika. Newton dan Einstein adalah dua dari sekian banyak ilmuan yang menonjol karena kecerdasan jenis ini.
Ketiga, kecerdasan visual-spasial, yang membuat seseorang memiliki kemampuan untuk secara detail menggambarkan apa yang dicerapnya. Kecerdasan ini dimiliki oleh navigator, arsitek, dan para seniman lukis (juga yang berkaitan dengan gambar-gambar, seperti lukisan/foto). Lukisan yang berkualitas dihasilkan oleh pelukis yang memiliki kecerdasan tinggi dalam melihat goresan-goresan yang diciptakannya lewat sapuan kuas.
Demikian juga seorang fotografer yang mumpuni, mampu membuat analisis yang tepat tentang pengaruh cahaya, latar belakang, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi kualitas hasil foto. Thomas Alva Edison, Pablo Picasso, dan Ansel Adams, adalah orang-orang dengan kecerdasan visual-spasial yang baik.
Keempat, kecerdasan ritmik-musikal, yang membuat seseorang piawai memainkan alat musik karena ia pandai menyimpan nada dalam pikirannya. Ia mampu dengan baik mengingat irama dan kemudian secara mudah terpengaruh oleh musik. Menurut Plato, musik memiliki pengaruh yang sangat besar ke dalam jiwa, bahkan yang terdalam.
Musik juga dapat membantu memberikan stimulus kepada tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang lebih mudah seperti dilakukan oleh para pesenam. Banyak pakar mengatakan, musik juga berpengaruh pada kecerdasan lainnya, karena irama musik dalam menggeser pikiran, mengungkapkan kasih sayang dan memberikan ilham, serta meningkatkan ketakwaan. Karena itu, oleh para sufi Mesir, musik dijadikan sebagai sarana untuk berekstasi kepada Tuhan.
Kelima, kecerdasan kinestetik, yang memungkinkan seseorang dengan mudah melakukan gerakan yang bagi kebanyakan orang sangat sulit, bahkan tidak bisa dilakukan. Kecerdasan ini dimiliki terutama oleh para atlit, pengrajin, montir, dan ahli bedah.
Keenam, kecerdasan interpersonal, yang membuat seseorang mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain. Kecerdasan ini pada dasarnya sangat diperlukan untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat. Sesuai dengan fitrahnya, sebagaimana dijelaskan Aristoteles dalam bukunya Republica bahwa manusia adalah zoon politicon (makhluk sosial). Tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri di pulau-pulau di dunia ini.
Dengan kecerdasan ini, seseorang mampu menjalin relasi dengan orang lain secara lebih empatik, sehingga disenangi banyak orang. Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin sosial dan politik, seorang yang pandai membuat jaringan (networker), juru runding, dan guru yang baik. Mahatma Gandhi adalah salah seorang yang menonjol dalam kecerdasan interpersonal ini.
Ketujuh, kecerdasan intrapersonal, yang memungkinkan seseorang mengakses perasaannya sendiri yang terdalam, membedakan berbagai keadaan emosi, mampu memahami nilai-nilai hidup untuk membimbing hidupnya. Kecerdasan ini lebih optimal jika distimulasi dengan kegiatan meditasi, kontemplasi, dan berbagai aktivitas penelusuran jiwa secara lebih mendalam. Kecerdasan jenis ini membuat pemiliknya sangat mandiri, fokus pada tujuan, dan sangat disiplin, sehingga kurang suka bekerjasama dengan orang lain. Ini kecerdasan para konselor dan ahli teologi.
Kedelapan, kecerdasan naturalis, yang memungkinkan sesesorang memiliki kemampuan yang lebih dalam mengenali, membedakan, mengungkapkan, dan membuat kategori terhadap apa yang dijumpai di alam alam semesta ini. Kesembilan, kecerdasan eksistensial yang lebih berupa kemampuan untuk berpikir filosofis, selalu bertanya mengapa yang ada ada, atau asal mula dari yang ada, dan ke mana yang ada jika “tiada‘.
Melihat sembilan jenis kecerdasan di atas, maka segenap lembaga pendidikan kiranya perlu mendesain kurikulum yang bisa membuat kecerdasan-kecerdasan dalam diri murid berkembang optimal dengan cara memberikan penghargaan yang sama kepada setiap kecerdasan yang dimiliki para peserta didik. Sebab, dunia masa depan memerlukan individu-individu yang ahli dalam bidangnya, apa pun bidang itu.
*Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik Kebijakan Pendidikan Universitas Diponegoro, Semarang

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites