Selamat Datang di Situs akhmadshoim.blogspot.com Cp. 082323989890 e-mail: soimah49@gmail.com

Selasa, 31 Juli 2012

Kontribusi Kampus untuk Masyarakat Islami


KUNTOWIJOYO (2004) membagi periodesasi Islam dalam tiga tahap, yaitu Islam sebagai mitos, ideologi, dan ilmu. Saat ini, mestinya kita sudah memasuki tahapan ketiga. Pada tahap ketiga atau periode ilmu, terjadi aktivasi objektifikasi menuju ”Islam sebagai rahmat untuk semua”.  
Dalam periode ini, Kuntowijoyo menandaskan perlunya objektifikasi Islam, yakni konkretisasi dari sebuah keyakinan yang apabila terealisasi dalam perbuatan akan dirasakan oleh orang nonpemeluk Islam sekalipun sebagai sesuatu yang natural atau sewajarnya, bukan sebagai perbuatan keagamaan. Namun dari sisi ”pelaku”,  tetap merasa bahwa hal tersebut sebagai perbuatan keagamaan atau amal ibadah.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyatakan, ilmu tanpa amal adalah gila dan pada masa yang sama amalan tanpa ilmu merupakan kesia-siaan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal dan meminta dikembalikan lagi ke dunia setelah mati, seperti firman Allah SWT dalam QS As-Sajdah ayat 12, yang berbunyi; ”...Wahai Tuhan kami, kami telah melihat kebenaran di hadapan kami, kami telah mendengar dengan sejelas-jelasnya (akan perkara yang dahulu kami ingkari); maka kembalikanlah kami ke dunia lagi agar kami bisa mengerjakan perkara yang baik-baik. Sesungguhnya kami sekarang telah yakin.î
Tentu saja itu tak akan terjadi karena kita sudah telanjur mati. Untuk itu, kita harus memanfaatkan hidup di dunia ini sebaik- baiknya dengan menuntut ilmu dan beramal, menjauhi sikap berbangga-bangga dengan amal, padahal mungkin ilmunya tidak kita miliki. Jika kita jujur, dari semua ilmu yang telah kita miliki ternyata sangat sedikit yang kita manfaatkan dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kontribusi Kampus
Lantas, apa peran dan kontribusi kampus pada masa kekinian? Kampus —universitas atau perguruan tinggi— semestinya bisa menjadi provider bagi keberlangsungan Islam sebagai ilmu. Tidak hanya kampus yang berbaju Islam seperti institut atau sekolah tinggi Agama Islam yang juga kini berubah menjadi Universitas Islam saja, melainkan juga bagi kampus-kampus  yang tidak secara khusus mengkaji agama Islam.
Berbagai kajian, penelitian, workshop, diskusi, perdebatan, bahkan pergulatan pemikiran mengenai Islam sebagai ilmu sudah sepantasnya dilakukan di kampus tanpa tekanan dari birokrasi, negara, maupun kepentingan tertentu. Maraknya kegiatan keagamaan Islam di kampus, termasuk dalam hal ini kajian Islam sebagai nilai-nilai universal, perlu didorong menjadi sesuatu pemahaman bahwa Islam bisa diterima semua orang, baik muslim maupun nonmuslim.
Dengan cara inilah, Islam secara instrinsik termanifestasi dalam perilaku sehari-hari kehidupan. Kampus harus berperan sebagai media bagi siapa pun untuk menuntut ilmu yang  tidak terbatas, sehingga intellectual curiousity masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang. Masyarakat saat ini sudah semakin haus akan ilmu pengetahuan dan kampus seharusnya semakin memberi dorongan.
Namun, bukan berarti berbagai kajian ilmiah keislaman tersebut bebas nilai. Di sinilah perlunya pemahaman ilmuwan kampus bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial. Apa gunanya penelitian dan pengkajian ilmiah keislaman di kampus dilakukan jika tidak bermanfaat bagi masyarakat? Sebaliknya dan yang terpenting adalah, bagaimana menjadikan berbagai penelitian dan pengkajian keislaman di kampus memiliki kepekaan sosial dengan kebutuhan masyarakat luas.
Kajian keislaman kampus harus berusaha meneguhkan bahwa Islam adalah rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamiin). Apabila tri dharma perguruan tinggi sudah maksimal dilakukan oleh civitas akademika, niscaya kampus akan menjadi kawah candradimuka bagi para calon cerdik dan pandai yang berwawasan keagamaan yang luas sekaligus memiliki kepekaan sosial tinggi.
Untuk menuju ke sana, tantangan saat ini sangat besar, yakni berhadapan dengan merebaknya sikap individualistik, materialistik, maupun hedonistik sebagai dampak global. Namun, apakah kita akan berdiam diri? Tentu saja tidak, karena selama kampus masih dimiliki oleh para kaum cerdik pandai yang memiliki hati, niscaya berbagai dampak di atas insyaallah bisa diatasi.  (43)
– Prof Dr Ravik Karsidi MS, Guru Besar Sosiologi Pendidikan dan Rektor Universitas Sebelas Maret

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites