Oleh: Akhmad Shoim*
Atas nama apapun, kekerasan sangat melanggar
hak asasi manusia (HAM) dan merugikan umat manusia. Agama manapun juga mengecam
tindak kekerasan terhadap umat manusia. Agama menganjurkan umatnya untuk
berbuat baik kepada sesama, serta toleransi terhadap umat beragama lain.
Kekerasan yang dialami kelompok Syiah di Desa Karang
Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur 26 Agustus yang
lalu sangat mengejutkan kita semua. Terlebih kasus tersebut bermuatan agama
antara Sunni – Syiah.
Sungguh ironis sekali. Dalam kekerasan itu dua
nyawa hilang sia-sia, 27 rumah dibakar, 235 warga mengungsi di gedung lapangan
tenis Sampang dengan minim kebutuhan pangan dan kesehatan.
Kasus ini berawal dari permasalahan keluarga
sejak 2004 hingga sekarang, yaitu antara Tajul Muluk beraliran Syiah dan Rois
beraliran Sunni yang mempunyai masalah pribadi dan tersebar di masyarakat luas.
Kejadian pembakaran sudah terjadi pada Oktober 2011 (Kompas:29/8)
Kenapa hal itu bisa terjadi? Penulis berpendapat,
ada beberapa kemungkinan terjadinya kekerasan di sampang Madura.
Pertama, dari perspektif sosial. Suku agama dan ras
(SARA) sangat sensitif dan rawan menjadikan peperangan jika dimasukkan dalam ranah
politik maupun agama. Masalah (SARA)
memang sangat mudah dan seringkali menimbulkan konflik, baik itu konflik
internal maupun konflik eksternal.
Dalam konteks ini, ideology Islam Sunny-Syiah
dilakukan Tajul Muluk dan jamal sebagai motif dalam pertikaian di Sampang Madura
tersebut. Persoalan dan pertikaian yang awalnya kecil, menjadi besar dan menyebar
ke SARA sampai ke level nasional.
Kedua, dari perspektif hukum aparat penegak hukum seharusnya
sejak dini meredam kasus ini supaya tidak berkepanjangan. Aparat penegak hukum harus
tegas dan adil dalam menangani kasus kekerasan yang terjadi.
Pelaku harus dihukum berat supaya tidak lagi
terjadi kekerasan terhadap sesama umat muslim.
Kejadian brutal yang dilakukan di Sampang ini
menunjukkan Negara gagal melindungi warga. Warga seharusnya mendapatkan hak untuk
dilindungi, hak hidup dan keselamatannya sesuai undang-undang. Dalam pembukaan UUD
1945 dituliskan “Negara melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Pemerintah seharusnya secepat mungkin
mengevakuasi korban kebrutalan warga yang menghakimi sendiri tanpa melewati jalur
hokum yang berlaku. Karena kita hidup di Negara hukum.
Ketiga, dalam perspektif agama. Agama Islam
bukanlah agama yang disebarkan dengan kekerasan, karena Allah SWT melarang kaum
muslimin dari memaksa orang untuk masuk agama Islam. Apalagi dalam kasus ini
melakukan kekerasan terhadap sesama muslim.
Allah melarang membunuh sesama manusia tanpa
sebab yang disyariatkan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman: janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang
diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (al-An’âm: 151).
Islam sudah menyediakan seperangkat aturan dan
petunjuk dalam menjalani kehidupan ini agar selamat baik di dunia maupun di
akhirat. Ajaran Islam tak hanya mengatur hubungan antara seorang manusia dengan
Rabb-Nya (hablum minallah), melainkan juga telah mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia yang lain (hablum minannaas). Ini merupakan suatu
anugrah dan kemudahan bagi manusia.
Penulis berharap, Pemerintah harus melibatkan
pemuka agama, aparat penegak hukum, serta tokoh masyarakat baik yang ada di
Sampang Madura, ulama Sunni serta ulama Syiah tersebut, guna menyelesaikan
kasus ini. Penegakan hukum harus ditegakkan, terlebih perlindungan terhadap
komunitas Islam Syiah yang menjadi korban kekerasan.
Satu-satunya jalan agar kemungkinan buruk itu
tidak menjadi nyata, pemerintah harus melakukan upaya komprehensif dengan
menghentikan konflik yang terus berkembang dan tak terkendali.
Semoga negeri Indonesia ini terbebas dari diskriminasi
mayoritas-minoritas dan warga Negara Indonesia bisa hidup rukun, damai dan sentosa
di tengah-tengah kemajemukan bineka tunggal ika.
*Litbang SKM Amanat dan Pegawai Sub bagian
Humas IAIN Walisongo Semarang.