Selamat Datang di Situs akhmadshoim.blogspot.com Cp. 082323989890 e-mail: soimah49@gmail.com

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 31 Juli 2012

Encouragement


LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafikgrafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif. Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.(*)
Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI.

Kontribusi Kampus untuk Masyarakat Islami


KUNTOWIJOYO (2004) membagi periodesasi Islam dalam tiga tahap, yaitu Islam sebagai mitos, ideologi, dan ilmu. Saat ini, mestinya kita sudah memasuki tahapan ketiga. Pada tahap ketiga atau periode ilmu, terjadi aktivasi objektifikasi menuju ”Islam sebagai rahmat untuk semua”.  
Dalam periode ini, Kuntowijoyo menandaskan perlunya objektifikasi Islam, yakni konkretisasi dari sebuah keyakinan yang apabila terealisasi dalam perbuatan akan dirasakan oleh orang nonpemeluk Islam sekalipun sebagai sesuatu yang natural atau sewajarnya, bukan sebagai perbuatan keagamaan. Namun dari sisi ”pelaku”,  tetap merasa bahwa hal tersebut sebagai perbuatan keagamaan atau amal ibadah.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyatakan, ilmu tanpa amal adalah gila dan pada masa yang sama amalan tanpa ilmu merupakan kesia-siaan. Jangan sampai kita menjadi orang yang menyesal dan meminta dikembalikan lagi ke dunia setelah mati, seperti firman Allah SWT dalam QS As-Sajdah ayat 12, yang berbunyi; ”...Wahai Tuhan kami, kami telah melihat kebenaran di hadapan kami, kami telah mendengar dengan sejelas-jelasnya (akan perkara yang dahulu kami ingkari); maka kembalikanlah kami ke dunia lagi agar kami bisa mengerjakan perkara yang baik-baik. Sesungguhnya kami sekarang telah yakin.î
Tentu saja itu tak akan terjadi karena kita sudah telanjur mati. Untuk itu, kita harus memanfaatkan hidup di dunia ini sebaik- baiknya dengan menuntut ilmu dan beramal, menjauhi sikap berbangga-bangga dengan amal, padahal mungkin ilmunya tidak kita miliki. Jika kita jujur, dari semua ilmu yang telah kita miliki ternyata sangat sedikit yang kita manfaatkan dan kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kontribusi Kampus
Lantas, apa peran dan kontribusi kampus pada masa kekinian? Kampus —universitas atau perguruan tinggi— semestinya bisa menjadi provider bagi keberlangsungan Islam sebagai ilmu. Tidak hanya kampus yang berbaju Islam seperti institut atau sekolah tinggi Agama Islam yang juga kini berubah menjadi Universitas Islam saja, melainkan juga bagi kampus-kampus  yang tidak secara khusus mengkaji agama Islam.
Berbagai kajian, penelitian, workshop, diskusi, perdebatan, bahkan pergulatan pemikiran mengenai Islam sebagai ilmu sudah sepantasnya dilakukan di kampus tanpa tekanan dari birokrasi, negara, maupun kepentingan tertentu. Maraknya kegiatan keagamaan Islam di kampus, termasuk dalam hal ini kajian Islam sebagai nilai-nilai universal, perlu didorong menjadi sesuatu pemahaman bahwa Islam bisa diterima semua orang, baik muslim maupun nonmuslim.
Dengan cara inilah, Islam secara instrinsik termanifestasi dalam perilaku sehari-hari kehidupan. Kampus harus berperan sebagai media bagi siapa pun untuk menuntut ilmu yang  tidak terbatas, sehingga intellectual curiousity masyarakat senantiasa tumbuh dan berkembang. Masyarakat saat ini sudah semakin haus akan ilmu pengetahuan dan kampus seharusnya semakin memberi dorongan.
Namun, bukan berarti berbagai kajian ilmiah keislaman tersebut bebas nilai. Di sinilah perlunya pemahaman ilmuwan kampus bahwa mereka memiliki tanggung jawab sosial. Apa gunanya penelitian dan pengkajian ilmiah keislaman di kampus dilakukan jika tidak bermanfaat bagi masyarakat? Sebaliknya dan yang terpenting adalah, bagaimana menjadikan berbagai penelitian dan pengkajian keislaman di kampus memiliki kepekaan sosial dengan kebutuhan masyarakat luas.
Kajian keislaman kampus harus berusaha meneguhkan bahwa Islam adalah rahmat bagi semua (rahmatan lil ‘alamiin). Apabila tri dharma perguruan tinggi sudah maksimal dilakukan oleh civitas akademika, niscaya kampus akan menjadi kawah candradimuka bagi para calon cerdik dan pandai yang berwawasan keagamaan yang luas sekaligus memiliki kepekaan sosial tinggi.
Untuk menuju ke sana, tantangan saat ini sangat besar, yakni berhadapan dengan merebaknya sikap individualistik, materialistik, maupun hedonistik sebagai dampak global. Namun, apakah kita akan berdiam diri? Tentu saja tidak, karena selama kampus masih dimiliki oleh para kaum cerdik pandai yang memiliki hati, niscaya berbagai dampak di atas insyaallah bisa diatasi.  (43)
– Prof Dr Ravik Karsidi MS, Guru Besar Sosiologi Pendidikan dan Rektor Universitas Sebelas Maret

Minggu, 15 Juli 2012

MENGEMBALIKAN CITRA KEMENTRIAN AGAMA


Oleh: Akhmad Shoim*
Citra Kementrian Agama kembali tercoreng lagi, setelah kasus Maret tahun 2003 dugaan korupsi Rp. 116 miliar di Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Islam Kementrian Agama (Kemenag).
Komisi pemberantasan korupsi (KPK) sepekan lalu, menangkap tersangka Zulkarnaen Djabar pada kasus proyek penggandaan Al-Quran di Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama pada 2011 – 2012. Zulkarnaen adalah politikus Golkar di komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi agama sejak 2004.
Selain Zulkarnaen, anaknya yang bernama Dendy Prasetya, Direktur PT Karya Sinergi Alam Indonesia, juga sebagai tersangka, dia juga menyetir pejabat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam guna memenangkan PT Adhi Aksara Abadi Indonesia sebagai pemenang proyek. Keduanya diduga menerima suap Rp. 4 Miliar dari proyek pengadaan Al-Quran pada 2011 – 2012, serta proyek laboratorium komputer untuk madrasah tsanawiyah 2010 di Kementrian Agama.
Logikanya, Jika Kementrian Agama yang mengurusi kegamaan di Indonesia saja melakukan korupsi, bagaimana dengan Kementrian yang selain agama. Tentu, pasti akan lebih parah lagi.
Pertanyaannya kenapa orang yang bisa dikatakan paham agama melakukan kegiatan yang dilarang agama berupa korupsi? Pertanyaan kedua kenapa yang dikorupsi itu Al-Quran tidak yang lain?
Kasus korupsi memang perbuatan yang tidak terpuji. Akan tetapi lebih tidak terpuji lagi jika yang di korupsi itu kitab Tuhan berupa Al-Quran. Sesuatu yang disakralkan umat Islam dianggap sebagai lahan basah untuk memperkaya diri, serta mencari uang sebanyak-banyaknya.
Masyarakat awam pasti terheran dan menganggap tersangka sudah “GILA” atas perbuatan yang dilakukan tersangka dengan mempermainkan agama sebagai lahan korupsi. Perbuatan ini sungguh diluar batas kewajaran. Tersangka bisa dikatakan orang tidak bermoral, meskipun dia secara keilmuan mencapai gelar yang tinggi secara akademis maupun keagamaan.
Meniru bahasanya Ibnu Djarir, ketinggian keilmuan akademik/keagamaan tidak selalu pararel dengan kebaikan moral dan akhlak seseorang. Karena akhlak itu terbentuk seperti iman, bisa bertambah juga bisa berkurang.
Bagi orang berpendidikan, perbuatan ini merupakan perbuatan demoralisasi yang dilakukan oknum di Kementrian Agama guna merusak citra di Kemenag. Dia tidak memikirkan efek jangka panjang yang di terima Kemenag dalam menghadapi kasus ini.
Yang seharusnya dibangun Kemenag yaitu mengembalikan citra lembaga agar menjadi baik di mata masyarakat Indonesia. Kemenag seharusnya juga sebagai contoh baik bagi lembaga di kementrian yang lain. Bukan malah memberi contoh jelek dengan melakukan kasus korupsi tersebut.
Jikalau yang terjadi sudah seperti ini, maka jalan bagi Kemenag yang  paling penting yaitu mengembalikan citra baik kepada masyarakat luas. Karena instansi sudah telanjur tercemar buruk.
Kemenag harus membuka diri dengan memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat, serta direspon dengan cepat dan transparan. Semoga!
*Staf Humas IAIN Walisongo Semarang, Litbang SKM Amanat.

Selasa, 10 Juli 2012

DUGDERAN, TRADISI SEMARANG


Oleh: Akhmad Shoim*
Dugderan merupakan tradisi serta identitas warga Semarang. Dugderan atau istilah lainnya Megengan merupakan kegiatan rutin tahunan menyambut Ramadan yang harus di lestarikan pemerintah Semarang. Masyarakat sudah seharusnya melestarikan tradisi ini, karena kegiatan ini turun-temurun dari zaman dahulu.
Menurut Antropolog Undip, Prof Dr Mudjahirin Thohir MA menuliskan, Dugderan atau Megengan merupakan tradisi menjelang puasa. Puasa dipahami orang Jawa sebagai bulan suci, ibadah yang menuai keistimewaan dengan segala ibadah yang dilakukan akan dilipatgandakan, selain itu bagi yang telah meninggal puasa merupakan waktu untuk bebas dari siksaan.
Dalam pandangan Islam Jawa, pada bulan Sura menjelang puasa, mereka melakukan rangkaian nyadran, bersih kubur, kirim doa, juga dugderan. Hal ini dilakukan untuk mengirim doa kepada leluhur yang telah meninggal, serta menyambut bulan Ramadan yang penuh berkah dan pahala.
Dugderan diambil dari kata Dug, yang mengisyaratkan bunyi tabuhan bedug. Dan Der berasal dari suara dentuman meriam yang berbunyi Der. Sehingga kata ini digunakan dengan nama dugderan.
Dugderan muncul sebagai sarana publikasi datangnya bulan puasa serta perintah menunaikan ibadah puasa. Praktiknya dengan menabuh bedug dan mengundang warga Semarang. Sehingga berkembang dengan kegiatan karnaval atau arak-arakan, munculnya banyak pedagang dengan barang dagangannya.
Perkembangan Megengan juga tampak dengan warak ngendog.  Warak berasal dari bahasa 'tarikat' yaitu dari kata wirai yang berarti kesiapan lahir batin menuju ibadah dalam hal ini ibadah puasa. Untuk kata endog atau telur diasosiasikan dikeluarkan oleh binatang, yang menyimbolkan berkah.
Penertiban
Pelaksanaan dugderan terjadi di beberapa tempat, di sekitar pasar Johar dan sekitar Masjid Agung Jawa Tengah, juga di Jalan Kyai Haji Agus Salim, Jalan Pedamaran dan Jalan Pemuda. Pelaksanaan dugderan sering kali menuai kritik. Para pedagang banyak yang sulit ditata, kemacetan lalu lintas, rawan pencurian, dan yang lainnya.
Pemerintah kota Semarang diharapkan menata para pedagang supaya tertib dan tidak berjualan di tengah jalan, sehingga mengganggu lalu lintas dan para penggguna jalan raya.
Selain itu, para pedagang diharapkan menjaga fungsi estetika sarana lain di lokasi dugderan. Peran serta semua instansi lain juga penting agar tidak terjadi kesemrawutan dan tidak tertata dengan baik.
Dalam menjaga keamanan dugderan, supaya terhindar dari kejahatan dan tindakan kriminal, Peran Satpol Pamong Praja, Polisi, dan TNI sangat penting supaya turut mengatur dan menjaga keamanan dugderan.

Pesantren, Pusat Kajian yang Tiada Habisnya

oleh  pada Selasa, September 21st, 2010 dilihat 2.092 kali


Berbicara tentang pesantren selalu saja begitu menarik. Bukan saja karena eratnya kaitan unik antara pesantren dan masyarakat, bermacam tradisi khasnya, liku sejarah berdirinya, namun juga karena ‘keluarbiasaan’ pesantren dalam mengawal pendidikan bangsa selama lebih dari 300 tahun.
Ya, selama kurun waktu itu pesantren telah ikut mencerdaskan putra-putri bangsa, terus berperan aktif membangun bangsa, menjadi ladang subur persemaian kader bangsa. Hingga dikemudian hari, tak mengherankan jika Pesantren berhasil membidani lahirnya tokoh-tokoh besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. Sahal Mahfudz, Gus Mus (KH. Ahmad Mustofa Bisri), Emha Ainun Najib (Cak Nun) hingga Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menjabat sebagai presiden ke-4 Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tak berhenti sampai disitu, Bumi santri ini pun sukses menggawangi berdirinya Organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia yakni Nahdlotul Ulama (NU). NU yang lahir atas prakarsa Hadrotussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari ini adalah bukti nyata kepedulian ulama pesantren terhadap perkembangan masyarakat Islam dunia. Perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem brmadzhab.
Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam’iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan. Dari sinilah akhirnya Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.
Pun tak hanya ‘berkarya’, Sejarah panjang nan menarik meliputi awal pendirian lembaga pendidikan yang diasuh oleh Kyai ini, sebuah proses ‘luar biasa’ hingga pesantren tetap eksis hingga hari ini, eksistensi pesantren dalam uniknya tradisi yang dimilikinya, kemudian bagaimana jawaban pesantren terhadap tantangan zaman yang semakin berkelok ? Lembaga pendidikan Islam yang kerap dicap ‘tradisional’ ini pun tidak tinggal diam. Berlandaskan prinsip utama ‘almukhafadhotu ‘ala qadiimis shalih wal akhdu bijadidil aslah’ (menjaga kebaikan tradisi lama, dan mengambil tradisi baru yang baik) pesantren maju merespon berbagai tantangan zaman, tak hanya di bidang pendidikan, dibidang lain seperti teknologi, ekonomi, dan sosial budaya pun lembaga ini mulai menampakkan peran yang signifikan. Tulisan sederhana ini berupaya mengulas kembali, sejarah menarik berdirinya Pesantren di tanah air, keunikan dan kekayaan tradisi khas kepesantrenan hingga respon dan peran pesantren di tengah gemerlap globalisasi.
Sejarah Berdiri
Zamkhsyari Dhofier, seorang pakar yang konsen terhadap kajian pesantren, dalam makalah ‘pesantren, alternatifkah ?’ dan “Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia’ mengungkapkan bahwa pesantren telah ada sejak 1630 M. Jika dihitung lebih rinci, berarti umur pesantren hingga hari ini, telah mencapai angka 370 tahun. Bukan waktu yang sebentar tentunya.
Pada awal berdirnya, bentuk pesantren sangatlah sederhana. Kegiatan pengajian dilaksanakan didalam masjid, dengan seorang kyai menjadi guru dan beberapa orang santri sebagai muridnya. Hampir diseluruh penjuru nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam, terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa dengan pesantren, meski dengan nama yang berbeda. Seperti Meunasah di Aceh, dan Surau di Minangkabau.
Mulanya, jamaah sang kyai hanya terdiri dari beberapa orang saja. Setiap menjelang atau selesai shalat berjama’ah, Kyai biasanya memberikan ceramah pangajian sekedarnya. Isi Pengajian berkisar terkait rukun Iman, rukun Islam, serta masalah-masalah yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Lama kelamaan, berkat keikhlasan Kyai dalam mengajar serta keteladanan langsung yang dilakukan Kyai, jamaah yang sedikit ini pun bertambah banyak.
Di kemudian hari, tak hanya masyarakat setempat yang datang untuk mengaji. Tidak sedikit para santri yang berasal dari luar daerah sengaja datang untuk ngaji pada sang Kyai. Dari sini kemudian dibangunlah secamam gubuk untuk tempat tinggal santri terutama yang berasal dari luar daerah. Dalam perkembangannya, dari gubuk sederhana ini selanjutnya berdiri bangunan-bangunan pesantren seperti sekarang.
Dari keterangan sejarah yang berkembang di masyarakat, dapat disimpulkan bahwa berdirinya pondok pesantren tertua, baik di Jawa maupun luar Jawa, tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui ajaran yang dibawa Walisongo. Utamanya di tanah Jawa, berdirnya pesantren tererat kait dengan keberadaan Maulana Malik Ibrahim (w. 1419) yang dikenal sebagai spiritual father Walisongo (Abdurrahman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, 2002).
Keunikan dan Ragam tradisi khas pesantren
Tak dapat disangkal, Pesantren sebagai satu diantara lembaga pendidikan Islam berdiri diatas keunikan tradisi dan kekhasannya. Disebut khas, karena bentuk tradisi dan budaya ini tidak dapat dijumpai pada bermacam lembaga pendidikan lain yang ada. Beberapa tradisi khas pesantren itu, diantaranya
1 . Kain Sarung
Kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya hingga berbentuk seperti tabung, itulah sarung. Bagi kita santri, sarung tentu bukan barang baru. Karena diluar kegiatan sekolah, sarung menjadi ‘menu wajib’ yang mesti dikenakan oleh seorang santri. Tapi Tahukah kita, bahwa ternyata kain lebar ini tak hanya dikenal di Indonesia. Sarung juga dikenal dengan nama  izaar, wazaar atau ma’awis.   Masyarakat di negara Oman menyebut sarung dengan nama  wizaar. Orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama  izaar. Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.
Dalam  Ensiklopedia Britanica, disebutkan, sarung telah menjadi pakaian tradisomal masyarakat Yaman. Sarung diyakini telah diproduksi dan digunakan masyarakat tradisional Yaman sejak zaman dulu. Hingga kini, tradisi itu masih tetap melekat kuat. Bahkan,  hingga saat ini,  futah atau sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman.
Bagi kalangan Pesantren, keberadaan sarung telah melegenda. Pada zaman kolonial Belanda, sarung dijadikan simbol perlawanan. Sarung telah menjadi simbol perlawanan terhadap para penjajah yang terbiasa mengenakan baju modern seperti jas.
2. Kitab Kuning
Dalam pengertian sederhana, kitab kuning atau yang sering juga disebut kitab turats adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab atau berhuruf Arab karya para ulama masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra modern, abad ke 17-an M. Dalam perkembangannya, kitab (karya ilmiah) para ulama ini kemudia dibagi dalam dua kategori berdasarkan kurun waktu penulisannya. Kategori pertama disebut al-kutub al-qadimah (kitab-kitab klasik). Sedangkan kategori kedua sering disebut al-kutub al-‘ashriyyah (kitab-kitab modern).Masuk dalam kategori pertama, seperti kitab Alfiyyah Ibnu Malik, Tafsir Jalalain, dan lain sebagainya sedangkan pada kategori kedua seperti kitab At-Tazhib, Fiqhul Islam Waadillatuhu dan lain sebagainya.
Lalu sejak kapan sebernarnya kitab kuning mulai digunakan menjadi sumber kajian di Nusantara (baca : pesantren) ? Sangatlah mungkin, sejauh bukti-bukti sejarah yang ada, bahwa kitab kuning mulai digunakan di pesantren semenjak abad ke-18 M, dan sangat dimungkinkan pengajaran kitab kuning secara massal dan permanen, baru dilaksanakan pada pertengahan abad 19 M. yakni ketika ulama nusantara, khususnya dari tanah jawa, kembali dari program belajarnya di Mekkah. (Abdurrahman Wahid, Asal Usul Tradisi Keilmuan Pesantren: 1984).
Terkait dengan metode pembelajran kitab kuning, paling tidak dapat kita temukan dua buah metode terkenal yang sering digunakan yakni Bandongan dan sorogan. Bandongan adalah metode pembelajaran dimana setiap santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kyai, sementara kyai menerangkan, para santri menyimak kitab masing-masing sembari membuat catatan penting yang diperlukan. Sedangkan Sorogan (menyodorkan) yakni sebuah metode pembelajaran dimana setiap santri menyodorkan kitabnya dihadapan kyai atau ustadz , Metode ini menggunakan pendekatan belajar individual. Khusus di Pesantren Jawa, setiap santri diperkenalkan pada huruf pegon dan afsahan ika-iku. Huruf pegon yang dipakai disesuaikan dengan bahasa daerah yang digunakan seperti, jawa ataupun sunda.
Pesantren di Tengah Gemerlap Globalisasi
Globalisasi membuat dunia semakin pendek. Indikasi pertama dari kejadian ini adalah semakin Mudahnya akses informasi, kemudahan yang memungkinkan setiap orang di berbagai belahan dunia, mengakses bermacam informasi yang diperlukannya. Bertukar pikiran dengan siapa pun yang dikehendakinya. Dan seperti yang disebutkan oleh banyak orang, selalu saja ada dua mata pisau untuk efek globalisasi. Baik dan buruk. Positif dan negatif. Tergantung bagaimana pengelolaan dan penyikapan terhadap globalisasi ini.
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam pun begerak cepat mengambil sikap terhadap efek globalisasi (baca : kemajuan zaman). Mengambil jalan untuk menetralisir dampak negatif yang dimungkinkan terjadi. Dengan tetap berpegang teguh keempat sumber hukum Islam, yakni Al Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas.
Tak hanya berkonsentrasi melaksanakan fungsi tarbiyyahnya, pesantren secara istiqomah berusaha menggarap bidang-bidang lainnya, seperti teknologi, ekonomi hingga sosial kebudayaan. Pesantren mengambil jalan keterbukaan terhadap pesatnya kemajuan zaman. Dengan tetap mempertahankan kebaikan tradisi lamanya dan selalu menjadi kewajiban syar’i sebagai pertimbangan utamanya.
Menyikapi kebutuhan masyarakat akan informasi, Pesantren pun segera bereaksi. Tak hanya pada media cetak seperti majalah, buletin maupun tabloid, beberapa pesantren pun kini mulai melebarkan sayap dakwahnya melalui media informasi elektronik seperti mendirikan statisun televisi (contoh : MQ Tv Ponpes Darutt Tauhid Bandung) ataupun mendirikan stasiun radio seperti yang dijalankan Pondok Peseantren API Tegalrejo Magelang (Fast FM), Pondok Pesantren Al Hikmah 1 (SAS FM) dan yang sedang diupayakan oleh Pondok Pesantren Al Hikmah 2.
Pesantren terus berusaha membekali setiap santrinya dengan berbagai cabang keilmuan. Disamping tetap mengedepankan pendidikan keagamaannya, pesantren pun berupaya meningkatkan life skiil setiap santrinya dengan mengadakan berbagai program spesifikasi seperti Komputer, pengelasan, tata busana, perikanan, perikanan dan lain sebagainya.
(Dari berbagai Sumber)

Mengkaji Perbedaan Awal-Akhir Ramadan 1433 H


Sebentar lagi umat Islam akan menunaikan ibadah puasa Ramadan 1433 H. Akan tetapi, sebagian besar umat bimbang akan kepastian tanggal awal Ramadan. Kebimbangan ini disebabkan ada dua versi tanggal penentuan awal Ramadan yang dilakukan oleh Ormas ternama.
Keduanya merupakan Ormas terbesar di Indonesia. Pertama, versi Muhammadiyah yang melakukan puasa Jumat 20 Juli 2012. Kedua, versi Nahdlatul Ulama (NU) yang melakukan puasa Sabtu 21 Juli 2012. Kenapa demikian?
Dalam penentuan awal-akhir Ramadan ada dua metode. Pertama, penentuan awal-akhir Ramadan dengan metode hisab atau penghitungan menurut beberapa kitab falak. Kedua, penentuan dengan metode rukyah. Metode ini dilakukan dengan rukyatul hilal, yaitu melihat posisi hilal/bulan dengan teropong bintang. Sebelum melakukan rukyatul hilal (melihat bulan), para ahli falak menghitung awal-akhir Ramadan dengan metode hisab, baru kemudian melakukan rukyatul hilal dengan teropong bintang.
Organisasi masyarakat (Ormas) Muhammadiyah menentukan awal Ramadan pada hari Jumat, 20 Juli 2012. Ia menggunakan metode hisab Hakiki bi al-Tahkik. Ormas ini mengambil keputusan berdasar pada wujudul hilal, yaitu munculnya hilal di atas ufuk. Puasa bisa dilaksanakan jika posisi bulan berada di atas ufuk walaupun setengah derajat. Muhammadiyah menggunakan metode hisab saja tanpa melakukan rukyah. Selain Muhammadiyah, Persis juga melakukan hal yang sama.
Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan penghitungan dengan metode imkanur rukyah dimana tinggi hilal minimal dua derajat untuk menentukan awal bulan.
NU juga menggunakan  hisab (penghitungan) guna mengetahui posisi hilal serta melakukan pengkajian ilmiyah. Baru kemudian dilanjutkan dengan melakukan rukyatul hilal.
Rukyatul hilal adalah melihat secara langsung bulan sabit muda pertama yang dapat dilihat setelah terjadinya konjungsi (ijtimak) bulan baru pada arah dekat matahari terbenam yang menjadi acuan permulaan bulan dalam kalender Islam (Slamet Hambali: 2012).
Dalam melakukan rukyatul hilal ada beberapa kriteria bulan dapat dilihat. Pertama, posisi hilal di atas 2 derajat di atas ufuk (garis horizontal langit). Kedua, tidak terhalang oleh kabut, planet, awan mendung, atau benda-benda langit lain yang menghalangi terlihatnya bulan. Oleh karena itu, dalam melakukan rukyatul hilal harus dilakukan dengan ketelitian, Serta dilakukan oleh orang yang ahli di bidang rukyatul hilal maupun lembaga astronomi.
Dalam sebuah Hadis dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081).
Dari hadis di atas menghasilkan analisa, awal puasa ditentukan dengan tiga perkara : Pertama, Rukyatul hilal (melihat bulan sabit). Kedua, Persaksian atau kabar tentang rukyatul hilal. Ketiga, Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
Sidang itsbat dan toleransi
Guna menciptakan kerukunan sesama umat Islam, Pemerintah (Menteri Agama) mengambil kebijakan sidang itsbat dalam penentuan awal-akhir Ramadan. Sidang itsbat adalah akumulasi dari para pakar ahli falak di nusantara dalam memutuskan awal-akhir Ramadan.  Sidang itsbat direncanakan Kamis, 19 Juli 2012 nanti, bertujuan untuk menyatukan beberapa hasil perhitungan pakar hisab dengan pakar rukyah dan para ahli falak di berbagai ormas Islam di Indonesia.
Solusi dari perbedaan penentuan awal-akhir Ramadan, masyarakat sebaiknya mengikuti keputusan pemerintah lewat sidang itsbat nanti. Sidang itsbat nanti yang dilakukan nanti, lebih representatif guna menyatukan umat Islam.
Meskipun dari beberapa Ormas banyak melakukan perbedaan dalam penentuan awal-akhir Ramadan nanti, masyarakat diharapkan tetap menjaga toleransi antar sesama umat Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam as-Suyuthi, rasul bersabda: perbedaan diantara umatku adalah rahmat. Meskipun sebagian masyarakat masih mengesampingkan sikap toleransi baik antar sesama umat Islam maupun dengan agama lain. Dengan mengedepankan toleransi, umat bisa hidup dengan rukun dan damai, dan semoga ibadah puasa kita nanti bisa di terima Allah SWT.
*Akhmad Shoim, Staf Humas IAIN Walisongo Semarang, Peneliti di Forum Studi Islam PP. Daarun Najaah Semarang.

Senin, 09 Juli 2012

Dibalik Perintah Berpuasa


Description: http://remaja.suaramerdeka.com/wp-content/uploads/2010/08/rm-300x209.jpgRamadhan telah tiba, seluruh umat Islam berlomba-lomba untuk mendapatkan pahala di bulan yang penuh berkah ini. Tak ayal umat Islam bersuka cita menyambutnya.
Puasa yang artinya menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkan puasa, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Puasa Ramadhan merupakan bagian dari rukun Islam ke empat yang wajib hukumnya untuk dilaksanakan umat Islam. Seperti yang tercantum dalam kitab suci Al-Quran di surat Al-Baqarah ayat 183.
“Yaa ayyuhaladziina aamanuu kutiba alaikumus siyaamu kamaa kutiba ‘alalladziina min qablikum la allakum tattaquun”
Yang artinya : ” Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat yang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”
Ibadah puasa Ramadhan yang diwajibkan Allah kepada setiap mu’min tak lain agar kita menjadi hamba yang bertaqwa seperti yang tertera dalam ayat di atas.  Selain itu, puasa juga mengajarkan kepada manusia-manusia untuk sabar dalam menjalani hidup dan menjaga hawa nafsunya.
Jika berpuasa dilakukan secara benar, ternyata berbagai jenis penyakit dapat dikendalikan. Misalnya diabetes, darah tinggi, kolesterol tinggi, maag hingga kegemukan. Puasa berarti mengistirahatkan saluran pencernaan (usus) beserta enzim dan hormon yang biasanya bekerja untuk mencerna makanan terus menerus selama kurang lebih 18 jam. Dengan berpuasa organ vital ini dapat istirahat selama 14 jam.
Puasa pada hakikatnya adalah momentum untuk menjadikan diri sebagai pribadi baru yang lebih lebih baik dan bahagia dari sebelumnya. Melalui puasa hubungan jiwa manusia begitu kuat dengan Allah, karena dengan puasa berarti mampu melakukan pengendalian diri, terhindar dari berbagai perbuatan maksiat, terhindar berbuat salah dan keliru karena pikiran lebih jernih, sekaligus banyak menuai kebaikan karena benih kebaikan yang ditebarkan pada sesama. Dan kadang pula hampir selalu bisa meraih cita-cita dan keinginan baik karena pribadi yang lebih sabar untuk berusaha meraih cita-cita dan keinginan itu.
Puasa juga merupakan sarana untuk mendidik manusia. Terutama umat Islam agar lebih disiplin dalam menjalani hidup. yaitu dengan selalu teratur dalam menata waktu secara baik. Kapan waktu makan, kapan waktu bekerja, kapan waktu istirahat dan kapan waktu ibadah serta memperbaiki hubungan seorang hamba dengan Tuhannya maupu hubungan antar sesama.
Dengan ibadah puasa pula, Allah SWT ingin memberikan tarbiyah (pembinaan) kepada umat, agar tercetak sosok yang shalih, meningkat keimanannya, bertambah mulia akhlaqnya, dan luas pengetahuannya serta tinggi komitmennya terhadap jalan dakwahnya dalam rangka menggapai ridha Allah SWT, lalu setelah itu akan lahir kepribadian islami yang utuh dan seimbang, yang siap menjawab tantangan zaman dengan segala problematika, ujian dan cobaan hidup di dunia menuju kebahagiaan hidup yang kekal di alam akhirat kelak.
Karena orang yg berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan,  yaitu kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Ketika berbuka orang berpuasa akan merasakan kebahagiaan. Hal ini dikarenakan jiwa manusia telah diciptakan untuk condong kepada apa-apa yang disenanginya. Jika pada suatu waktu ia dilarang untuk meraihnya kemudian di lain waktu hal tersebut diperbolehkan baginya maka ia tentu akan merasa bahagia atas diperbolehkan kembali hal-hal yg dilarang sebelumnya, terlebih lagi ketika ia sangat mengingankannya. Dan semoga kita termasuk orang-orang yang bisa memanfaatkan bulan yang penuh berkah ini. Amin…..
Hidup ini hanya sebentar
Bentar marah, bentar ketawa
Bentar berduit, bentar boke
Bentar senang, bentar susah
Ooo ya… ini bulan penuh berkah
Marilah menjalankan ibadah
* Ahmad Zaini, siswa kelas XI MA Wahid Hasyim Bangsri Jepara

Ada Apa dengan Setan?


Cerpen Amilia Indriyanti, Alumni SKM AMANAT IAIN Walisongo
 DAN semua bermula dari cinta. Semua pun berakhir dengan cinta. Cinta adalah permulaan yang indah. Mengusung pertemuan dan rasa cemburu. Kelak kita semua merasakan. Dengan siapa dan di mana hal itu tidak perlu dipertanyakan. Mempertanyakan berarti mengukuhkan kebodohan-kebodohan, sedangkan kita adalah pembawa-pembawa risalah. Cinta selalu diawali dengan pertemuan. Sebuah danau berair hijau kebiruan telah mempertemukan kita. Dalam belenggu rindu dan kalut yang utuh: tempat kuharapkan anak-anakku kelak akan dikandung, dilahirkan, oleh kau sebagai istriku. Dari atas sebuah sampan yang merangsek perlahan ke tengah danau, kutulis puisi untuk kekasih. Tentang keindahan pertemuan. Pertemuan yang alpa untuk dijadikan sebuah janji. Mungkin karena enggan mengangankan sebelumnya. Sering angan membuat majikannya menjadi pesakitan. Sementara, hal itu tidak perlu terjadi.
***
MEI, Kamis pukul 11.13. Kuciptakan sebuah pertemuan di antara kita. Di tepi sebuah danau yang berair hijau kebiruan. Tempat pertama kali kau membuatku terpaku dan berlanjut dengan bertukar kartu nama.Di bawah cemara, ketika angin berembus membawa kabar hari mulai petang, di telingamu kubisikkan: Dik, kita tidak usah pulang malam ini.”Kenapa?” ujarmu penuh tanya. Kedua pipimu merona merah.Kupandang wajahmu dengan sorot mata terlembut yang aku punya. Kupu-kupu saja cemburu melihat cara memandangku kepadamu, sehingga ia memilih terbang melewati wajahku dan aku berkedip. Kemudian kujawab pertanyaanmu.”Karena ingin kupetik buah khuldi di dadamu.”"Jangan!” kau memekik tertahan.”Kau ingin kita bertemu, bukan karena kau rindu? Tapi karena kau ingin aku menjadi Hawa yang membuat Adam terlempar ke bumi.”"Bukankah karena Hawa dan Adam terlempar ke bumi yang menyebabkan surga menjadi lebih berarti dan lebih indah?”"Iya, kau benar. Tetapi aku tidak mau mengambil risiko untuk menjadi orang yang terlempar.”"Kita tidak akan terlempar, tetapi ditempatkan. Kita saling mencinta. Pencipta cinta pasti merestui kita.”"Ya, kau benar. Kita tercipta dari cinta. Kita musnah juga karena cinta. Dan aku tidak ingin gara-gara cinta bumi menjadi ajang perang.”"Oh, Sayang, tidak mungkin cinta menjadi alasan sebuah pertikaian.”"Yah, Sayang! Bagaimana tidak mungkin? Kan bisa saja semua wanita yang melihatmu, mencemburuiku, karena kemesraan yang kauberikan kepadaku.”"Ya, Sayang, kau benar. Dan semua laki-laki pasti akan iri padaku, karena kekasih-kekasih mereka akan memutusnya, karena merasa cinta yang diberikan sangatlah kurang.”Semua makhluk cemburu melihat betapa mesranya kita sore itu. Danau yang berair hijau kebiruan sampai menangis karena iri. Ia sangat menyesal, kenapa mesti melihat adegan semesra ini. Ia pun berterima kasih kepada senja, sebab senja terus mengetuk-ngetuk kaki kita supaya cepat pergi menjauhinya.Ingin sekali aku mengubahmu menjadi Hawa yang rela merayu dan merengek kepada Adam untuk memetik buah khuldi. Kenyataannya kau bukan Hawa dan terpaksa aku mengukuhkan keinginanku untuk mencicipi buah khuldi itu. Kata banyak orang, buah khuldi adalah buah terlezat yang pernah ada. Sekarang aku baru bisa memafhumi mengapa sampai ada hikayat Siti Zubaidah, Layla-Majnun, Zulaikha-Yusuf, Yatim Asmara, Seribu Satu Malam. Legenda orang-orang yang sedang jatuh cinta. Perempuan dan pria penguasa semesta lamunan karena hati-hati mereka terbentuk oleh cinta.
***
FEBRUARI, pukul 13.12. Dering telepon memecah suasana siang.”Halo…” sungguh mesra suara itu.Memutuskan sebuah pertemuan tidak sesulit yang pernah kuduga. Suara itu suaramu. Kau ingin kita bertemu dan aku setuju. “Aku rindu,” katamu singkat memberi alasan. Mungkin karena kekuatan “suara mesra”-mu yang membuatku cepat membuat keputusan. Segera aku menemuimu di tempat yang telah kita tentukan.Dan kita bertemu di tepi danau yang berair hijau kebiruan, danau terindah. Tempat itu akhirnya bisa kita jangkau kurang dari satu jam. Einstein benar, imajinasi sering lebih penting dari ilmu pasti. Dalam perjalanan kubuat banyak daftar rencana. Bukan karena logikaku yang hebat tapi karena khayalku yang ingin menyelamatkan pertemuan kita. Sebelumnya kita pernah bertemu dan gagal. Setelah sembilan bulan kita tak pernah berjumpa. Ragamu tidak ada perubahan yang mencolok. Masih seperti dulu. Tetapi danau ini sudah banyak berubah. Airnya tidak bening lagi seperti dulu, tetapi agak keruh.Kau sudah menungguku. Duduk di antara bunga melati dan anyelir. Aku menghampirimu. Seperti menahan rindu yang terlalu. Sinar matamu bersinar mengikuti gerak tubuhku yang mendekatimu. Ada kelembutan di sana.
***
MENGHABISKAN waktu bersama, membuat kita tidak menyadari gelap yang sehelai demi sehelai membawa dingin menggiring langkah malam. Beberapa bunga melati bersiap mekar dengan kesaksian kita. Kita selalu tersenyum melihat tingkahnya. Dan tiba-tiba kau memintaku menghisap kokain di bibirmu. Bibir yang ranum. Aku tak pernah menyangka kau bisa seberani itu.”Apa?”"Kau bergurau, Sayang. Kita tahu itu mengandung candu.”"Ayo, isaplah untukku. Rinduku akan kuhabiskan petang ini.”"Tidak. Di bibirmu tidak ada kokain.”"Masa?”"Iya! Sadarlah, Sayang. Jangan suruh aku menjadi Romeo yang mati karena racun yang ditawarkan Juliet.”"Dan mereka bahagia.”"Aku tidak pernah tahu mereka bahagia atau tidak setelah mati.”"Kalau begitu, sekarang petiklah buah khuldi di dadaku saja, habisilah rinduku.”"Oh!”"Dulu kau pernah memintanya dan tidak aku berikan. Sekarang ambillah.”"Sayang, buah khuldi itu sudah tidak ada lagi di sana.”"Kau berbohong ya….,” kau merengek persis seperti Hawa yang aku inginkan sembilan bulan lalu. Keinginan itu sudah aku timbun. Sekarang aku hanya ingin menatapmu, tanpa berupaya dan tanpa berbuat apa-apa pada tubuhmu. Cintaku suci. Untuk menghindari hal-hal yang diinginkan akhirnya aku mengajakmu pulang. “Sebaiknya sekarang kita pulang, di sini sangat sepi, hanya tinggal kita bertiga.”"Hanya berdua.”"Bertiga. Yang ketiga setan.”"Ada apa dengan setan? Jangan pernah berpikir mencari kambing hitam untuk menolakku.”"Aku hanya ingin menjagamu, Sayang.”"Menjaga? Kata itu telah kehilangan makna. Kau bilang mau menjagaku, bagaimana mungkin? Kau toh seorang yang tidak bertanggung jawab.”"Aku tidak bertanggung jawab? Petang ini kau aneh sekali, Sayang.”"Kau juga aneh. Mengaku bertanggung jawab, tetapi tidak berani berbuat. Terus bagaimana bentuk tanggung jawabmu?”"Maksudmu?”"Tidak akan pernah ada neraka kalau Adam tetap berada di surga. Dan nur Muhammad yang bahkan dibuat jauh sebelum Adam juga tidak akan pernah menjadi sesosok idola. Adam berani berbuat untuk Hawa. Dan dia telah menunjukkan tanggung jawabnya. Karena itu dia dipercaya menjadi nabi. Bahkan dianggap sebagai orang suci.”“Sedang kita tidak akan menjadi apa pun, siapa pun, kalau tidak mau berbuat apa-apa, hanya karena takut dosa. Dosa itu pencarian. Dosa itu bukan awal juga bukan akhir. Tidak apa-apa setan menemani kita malam ini. Bukankah setan sekarang sudah menjadi kambing hitam yang paling layak? Lagi pula manusia lebih suka memilih untuk lemah sehingga merasa sah untuk mereguk kenikmatan godaan dan senang disesatkan.”"Tidak. Kau salah, Sayang, aku tidak mencari alasan untuk menolakmu. Aku mencintaimu. Dan aku ingin kau menjadi Zulaikha yang seluruh tubuhnya bergelimang cinta. Pada saat yang tepat aku akan mengisap kokain dan mengambil buah khuldi yang kautawarkan yang dulu pernah aku minta.”"Pada saat aku sudah tidak menginginkannya? Kau mengelak dari cintaiku. Kau tidak ingin aku bahagia, mesti sebentar.”"Oh, bukan itu maksudku, Sayang.”"Kalau kau ingin aku jadi Zulaikha, lebih baik kau menjadi Majnun saja. Dan kita tidak akan pernah bertemu, biarkan rinduku membatu.”
***
KARENA cinta tidak lebih dari sepotong kabut yang kadang hitam kadang putih, tidak aku turuti hasratku untuk mendekapmu, hasratmu untuk kudekap. Karena cintaku padamu sungguh terlalu, kubiarkan setetes demi setetes air hujan dari matamu membanjiri pipi. Tidak akan kubiarkan Tuhan cemburu melihat kemesraan kita dan akhirnya mengirim kutukan. Meskipun mati-matian aku mempertahankan diri, kalau saja aku punya hak atas tubuhku aku sudah bunuh diri di hadapanmu untuk membuktikan betapa aku mencintaimu. Semua keputusan memang ada konsekuensinya.”Kau tahu, Sayang, untuk tidak memenuhi keinginanmu (juga keinginanku) aku harus berlapar-lapar puasa, berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Kau yang telah mengajariku tentang ‘bertahan’ setelah kita bertemu bulan Mei tahun kemarin.”"Untuk apa kau lakukan itu, sedangkan aku tidak tahu apakah besok kita masih bisa bertemu?”"Kenapa? Kita akan mengikatkan diri dalam pernikahan.”"Pernikahan? Kalau esok hari aku harus menikah dengan orang lain, bukan dirimu? Mungkin aku sudah menolak, tetapi ternyata aku harus menerimanya. Aku tidak bisa melakukan apa pun seperti yang kuinginkan, makanya aku besok harus bersedia dinikahkan dengannya.”Kau menangis. Terisak-isak. Mendekap wajahmu dengan kedua tangan. Aku sangat paham. Aku telah memerawani hatimu dan kau ingin aku memerawani tubuhmu juga. Aku tidak mau melakukan bukan karena aku tidak ingin. Sesungguhnya tidak ada yang lebih benar, ketika hasrat nafsu tersalurkan antara dua manusia yang belum menikah. Tidak lelaki tidak juga perempuan keduanya benar. Keduanya salah. Kalau salah satunya lebih kuat, dosa itu tidak akan ternikmati. Dan aku laki-laki harus lebih kuat, karena aku adalah calon pemimpin, setidaknya bagi keluargaku nanti.”Oh, sudahlah, kalau memang kita tidak dapat bersama di dunia, kita bisa bersama di surga nanti.”Tenggorokanku tersekat tidak bisa berkata. Akhirnya keluar juga kalimat yang selalu menjadi pelegal sebuah perpisahan untuk kasih tak sampai. Tiba-tiba kau menatapku tajam. Air mukamu memukauku dengan senyum. Itu sebuah cibiran dan kau berkata, “Kau masih ingin bertemu denganku setelah kita mati nanti?”"Ya, Sayang, aku begitu mencintaimu. Dunia dan akhirat.”"Kalau begitu maafkan aku.”"Kau telah menyiksaku dengan sakit rindu, menolak untuk menyembuhkannya, kemudian aku harus menerima orang yang tidak aku cintai. Kau menolak kutuk, tapi kauciptakan kutuk untukku, bahkan sebelum aku merasa bahagia. Di surga aku tidak ingin bertemu denganmu.”"Di dunia aku banyak bertemu dengan orang-orang menyebalkan, masa di surga pun aku harus ketemu denganmu lagi, orang yang menganggap diri penuh cinta, kenyataannya tanpa cinta.”Diam, lengang, air danau yang sudah tidak bening lagi berubah menjadi danau air mata karena ia menangis. Ia bahagia karena tidak ada lagi kemesraan dari kita yang dapat membuatnya iri. Diakui atau tidak kita sedang bertengkar. Bahkan semua makhluk pun terasa mencemooh kebodohanku, yang tidak bisa mempertahankan kemesraan cinta, kemesraan yang dapat membuat siapa pun atau apa pun cemburu.Kau berdiri. Tubuhmu meliuk sebentar, menyibakkan rambut yang menutupi separo wajahmu ke punggung. Kau membuatku terkesima, entah sudah berapa ribu kali senja ini kau membuatku terpedaya. Lenganmu kau ulurkan untuk menjabat tanganku. Akhirnya aku berdiri, kita sama-sama tersenyum. Setelah itu kau berkata, “Aku tidak ingin bertemu denganmu di surga nanti.”"Kenapa kita bisa memuaskan cinta dan rindu di sana?”"Hidup sekali, mati sekali. Jatuh cinta boleh berkali-kali, sedangkan cinta sejati hanya terjadi sekali. Aku mencintaimu saat ini. Bukan harga mati. Tetapi merupakan proses. Ini hanya arena berlatih. Lagi pula cinta pertama adalah kenangan dan cinta terakhir adalah masa depan. Aku tidak akan mengorbankan diri demi sebuah kenangan. Mungkin perlu kamu tahu sebelum aku jatuh cinta padamu, aku tidak tahu siapa yang paling layak aku cintai. Tetapi sekarang aku tahu dan rasanya sekarang aku sedang mabuk cinta kepada-Nya. Hatiku bergetar. Kau tahu Rumi, Balkis, Majnun, Siti Khatidjah? Mereka bisa tahu cinta sejatinya, setelah merasakan jatuh cinta. Rumi jatuh cinta dengan Tabris. Balkis dengan Sulaiman. Majnun dengan Layla. Siti Khatidjah dengan Muhammad.”"Aku minta maaf, mungkin aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Aku pikir setelah di surga nanti, aku akan berjumpa dengan Yusuf dan Muhammad. Pada saat itu apakah aku masih bisa mengingatmu. Apalagi kalau Tuhan melumatku dengan cinta. Aku yakin, benar-benar yakin, pada saat itu, jangankan bertemu denganmu, mengingatmu saja aku tidak mau. Lagi pula aku ingin ada peningkatan dalam hidupku. Masa jauh-jauh di surga yang kutemui hanya kau. Tidak usah di surga pun aku bisa ketemu denganmu. Yang jelas, di sana aku tidak mungkin mau menemui orang-orang menyebalkan macam kau. Di surga aku hanya ingin ketemu dengan kekasihku, Tuhanku, dan akan kuhabiskan cintaku di sana. Sepuasku. Titik.””Dadah… Selamat tinggal.”Hah!!!
Dimuat di Suara Merdeka, 2002.

LUBDAKA


Goenawan Mohamad
Sebuah dongeng tentang dongeng.
Ada sebuah kota yang amat kecil di sebuah zaman yang amat hening di mana orang-orang ingin mendengar cerita Lubdaka. Tapi tak ada yang tahu kisah itu. Maka dewan kota meminta seorang brahmana mencarinya.
Ia dipilih karena ia pernah menemukan dua helai daun lontar yang tersimpan di candi lango; di helai pertama tertulis, “Sang Hyang ning Hyang amurti niskala”. Di helai kedua, “Stulakara sira pratistha hanenghrdaya-kamala-madya nityasa”. Ia tak mengerti arti kata-kata itu. Tapi penjaga candi itu mengatakan bahwa kedua kalimat itu memang bagian pembuka cerita Lubdaka. Dan sang brahmana percaya.
Maka ia pun berangkat memulai pencariannya bersama dua orang murid. Dengan sebuah biduk, mereka menyeberangi Danau Tamranga, dan tiba di sebuah biara dengan 17 rahib yang tak menyebutkan agama mereka. Di sana ekspedisi itu menemukan sebundel naskah cerita Lubdaka. Mereka menyalinnya selama seminggu. Tapi, pada akhir kerja mereka, pemimpin biara itu mengatakan, “pergilah tuan-tuan ke pertapaan tua di Pulau Mahuli. Di sana ada cerita Lubdaka yang lebih lengkap.”
Dan mereka pun berangkat, dan menemukan pertapaan itu, dan mereka diizinkan membaca naskah itu beserta terjemahannya. Tapi pendeta tertua disana berkata, “Di seberang Danau Tamranga selalu ada cerita Lubdaka. Tapi salah jika ingin menemukan yang lengkap. Tuan-tuan sendiri yang harus melengkapinya.”
Sang brahmana dan murid-muridnya terkesima mendengar itu-dan dengan hati penuh mereka pun kembali ke kota yang mengutus mereka. Tapi kali ini mereka harus menembus sebuah padang pasir sebelum sampai ke tepi danau. Tiba-tiba badai gurun yang mengerikan melabrak. Ketika semua reda dan langit tenang kembali, kedua murid itu tak melihat lagi guru mereka di atas kuda. Sang brahmana lenyap, kedua murid itu jadi setengah buka, dan naskah yang mereka salin di atas kertas Cina robek-robek, hurufnya pudar.
Yang tersisa jelas hanya satu halaman yang terlepas, bertuliskan “Sang Hyang ning Hyang amurti niskala…”.
Tapi setidaknya mereka ingat beberapa fragmen cerita yang dicari. Dan itulah yang mereka sampaikan ke dewan kota.
Syahdan, dewan kota sedang sibuk, maka diputuskan bahwa para anggota akan mendengarkan dongeng itu selama dua hari, fragmen demi fragmen. Semua akan direkam dan kemudian cerita akan disusun jadi utuh, lalu disebarkan ke seluruh penduduk.
Tapi, di ujung proses, ternyata ada dua versi cerita Lubdaka. Ini sinopsisnya:
VERSI I. Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan buruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pulang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan. Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh bila ia tertidur, ia melawan kantuk dengan memetik daun maja satu-satu, lalu dijatuhkannya ke permukaan telaga untuk menyaksikan bulan yang terpantul di air itu seperti tersenyum kepada bumi. Adapaun danau itu ada sepotong batu panjang yang tegak, dan daun-daun itu sesekali jatuh di pucuknya. Itulah yang ia lihat di waktu pagi. Yang tak ia ketahui, Dewa Syiwa yang di kuil-kuil dilambangkan dengan sebuah lingga sangat senang melihat perbuatan Lubdaka. Syiwa mencatat si pemburu sebagai calon penghuni surga.
VERSI II. Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan buruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pulang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan. Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh, ia berdoa sepanjang malam sambil menjalankan ibadat, yaitu menebarkan daun maja ke sepotong batu panjang yang ia lihat tadi di telaga itu; baginya batu itu lingga yang mewakili Syiwa. Maka Syiwa pun sangat senang akan perbuatan Lubdaka. Ia mencatat si pemburu sebagai calon penghuni surga.
“Versi mana yang benar?” Tanya ketua Dewan.
“Terus terang saya tak tahu, Tuan,” jawab salah seorang murid sang brahmana yang hilang. “Kami berdua juga tak yakin bacaan kami. Kami setengah buta.”
“Tapi logisnya versi kedua yang benar,” jawab murid yang satunya. “Dewa mendengarkan doa Lubdaka sepanjang malam. Dalam versi ini, Lubdaka berbuat dengan niat yang jelas. Dewa tak akan mengaruniai seorang yang iseng karena takut mengantuk.”
Tapi niat itu pamrih. Dalam versi kedua, lubdaka mengharap bantuan dewa, sedangkan dalam versi pertama, Lubdaka tak punya pamrih apa pun. Di atas pohon itu ia menciptakan imajinasi yang membuat bulan dan bumi saling bersahabat. Ia layak hidup bahagia yang kekal.”
Niat itu penting, kan? Tanpa niat, perbuatan hanya seperti air kali yang mengalir kanera perbedaan tinggi tanah.”
Dewan kota pun bingung. Maka diundanglah seorang penelaah kitab-kitab lama. Tapi orang ini pun tak bisa membaca tulisan pudar di kertas robek.
“hanya kalimat ini yang saya mengerti,” katanya menemukan kertas yang bertuliskan “Sang Hyang ning Hyang amurti niskala…”. Baris ini bertaut dengan baris yang tersimpan di Candi Lango. Dalam tafsir saya, seutuhnya berarti, “Dewa dari segala dewa yang nir-bentuk di dunia yang tak kasatmata/sifatnya yang nir-bentuk mewujud serupa teratai yang mekar tanpa henti di hati manusia di dunia ini yang tampak.
“Itu kalimat mpu tanakung, dan agaknya versi I yang benar. Dengan bersahaja, Lubdaka terus-menerus menciptakan imajinasi yang baru di malam yang membosankan. Ia berbuat kebaikan. Ia ikuti gerak sang teratai yang tak henti-hentinya mekar kembali.”
Dewan di kota yang sangat kecil itu masih bingung, tapi konon zaman tak seterusnya hening
Tempo, 8 Juli 2012

Minggu, 08 Juli 2012

Impor Makna


PARODI Prie GS

Ini negeri yang selalu terlibat. Negeri lain yang krisis, kita yang terkena imbasnya. Orang lain yang berprestasi, kita cukup yang mengagumi. Pihak lain punya tradisi menjadi pihak yang bermain, kita membangun tradisi menggelar nonton bareng. Kita boleh tidak terlibat di Piala Eropa, tetapi jangan kurang akal, undang saja bintangnya datang ke Jakarta. Kita tak perlu lolos di Piala Dunia, tetapi undang saja bintangnya ke sini, untuk main iklan produk minuman berenergi.
Di Jakarta, para bintang itu diadu dengan para bintang kita. Seluruh bintang kita berkumpul menjadi satu dan menahan imbang mereka 1-1. Skor yang tidak buruk. Tetapi siapa peduli tentang skor? Karena jauh melesak di alam bawah sadar sana, telah berkembang bermacam-macam imajinasi atas skor ini.
Bisa saja kualitas pemain kita memang benar-benar bintang sehingga sanggup menahan bintang. Itu skenario pertama. Bisa juga karena pihak lawan tak enak hati. Itu skenario kedua. Maka skor 1-1 adalah skor tersopan dari sebuah pertandingan senang-senang.
Karena itulah memang tujuannya: bersenang-senang. Maka, semuanya harus senang. Jadi skor itu sama sekali bukan isu terpenting. Terpenting dari semua itu adalah kehadiran primadona Piala Eropa, Cesc Fabregas. Seluruh kebintangan kita hanyalah anak tangga bagi kebintangan pihak lain yang sedang ditunggu-tunggu. Maka mengelu-elukan sang bintang jauh lebih penting ketimbang mengevaluasi pertandingan.
Maka skor satu-satu itu, walau bukan skor yang buruk, tetapi bukan skor yang menggembirakan. Bukan tak gembira karena kita tidak bisa  membuat gol lebih banyak, melainkan karena kita tak membutuhkan kemenangan itu. Bisa karena hal itu nyaris tidak mungkin, bisa juga karena bukan soal itu yang ditargetkan. Target kita saat ini adalah sedang ingin menjadi pengagum pihak-pihak yang mengagumkan. Kita adalah masyarakat yang sedang kehilangan kekaguman di dalam kehidupannya sendiri. Setiap membuka lembaran koran, rasanya kita hanya bertemu kasus korupsi.
Korupsi itu malah merajalela sedemikian rupa sampai sulit lagi mencari padanan kata untuk menyebutnya. Ketika beras miskin saja dikorup, kita pernah menyebutnya sebagai luar biasa. Tapi rekor ini gugur dengan cepat karena pengadaan kain kafan juga dikorupsi. Kini kain kafan saja tak cukup, tetapi sudah merambah ke pengadaan Kitab Suci. Kalau tuduhan ini benar, rasanya kehadiran KPK saja tak cukup. Rasanya Tuhan sendiri yang harus turun tangan untuk menghentikan pihak yang telah mustahil dinasihati.
Di tengah iklim semacam itulah krisis makna akan bergerak menjadi wabah. Hidup tanpa makna adalah kegalauan besar sebuah bangsa.
Akhirnya, naluri mencari makna itu akan menerobos kalau perlu melewati batas-batas negara. Adalah aneh, negeri yang ramai mengampanyekan makna di berbagai mimbar khotbah ini, adalah negeri yang diam-diam mengalami krisis makna. Karenanya, ketika korupsi makin bereskalasi dari kain kafan ke Kitab Suci, tradisi impor juga bergerak serupa, kita tak cuma cukup impor garam, gula dan beras, tetapi juga harus impor nilai dan makna. (62) Suara Merdeka, 08 Juli 2012 


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites